sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id telkomsel
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id acer
Kamis, 15 Mar 2018 10:30 WIB

Mempersenjatai media sosial: dari Rusia sampai MCA

Angkatan kelima -wacana mempersenjatai buruh dan tani di era 65- terwujud dalam bentuk lain di era media sosial. Bagaimana seluk beluknya?

Mempersenjatai media sosial: dari Rusia sampai MCA
Ilustrasi (Sumber: Shutterstock)

III. Tahun politik, pertempuran mulai dari media sosial

Penangkapan anggota Saracen dan MCA bukanlah berarti tanda berakhirnya propaganda, misinformasi, dan hoaks di media sosial. Tahun ini hingga tahun depan, Indonesia akan menghelat pemilu akbar untuk memilih kepala daerah, legislator, dan presiden. Pertempuran opini akan dimulai dari media sosial untuk menjatuhkan lawan dan mengunggulkan jagoan.

Facebook, salah satu area utama penyebaran hoaks bukannya tak menyadari hal ini. Di beberapa negara, mereka aktif bekerja sama dengan otoritas setempat untuk mencegah penggunaan Facebook sebagai senjata mempengaruhi pemilihan umum. Di antaranya di Jerman dan Prancis.

Dalam skala yang lebih besar, Facebook berbenah dengan mengubah algoritma yang mengatur News Feed atau Kabar Berita di laman mereka.

Tudingan bahwa Facebook bisa mempengaruhi hasil pemilu suatu negara pada awalnya berawal di Pilpres Amerika Serikat yang dimenangkan Donald Trump. Pada awalnya, CEO Facebook Mark Zuckerberg menganggap tudingan itu sebagai hal yang gila. Namun belakangan dia menyadari bahwa dia salah.

Zuckerberg kemudian melakukan beberapa perubahan pada Facebook dengan tujuan untuk mempersulit penyebaran hoaks dan berita palsu. Salah satunya dengan bekerja sama dengan pihak ketiga sebagai fact checker atau pemeriksa fakta. 

Cara lain yang Facebook gunakan adalah dengan memberikan tanda pada berita yang telah terbukti salah. Tanda yang dinamai Disputed Flag ini diluncurkan pada Desember tahun lalu. Sayangnya, cara tersebut ternyata tidak efektif. Karena itulah, Facebook mencoba untuk mencari cara lain.

Menurut laporan The Verge, cara baru yang Facebook gunakan adalah Related Articles yang berfungsi untuk memberikan konteks pada berita bohong yang seseorang baca dan hendak bagikan. Facebook juga menyebutkan, Related Articles dapat mempercepat proses dalam melawan hoaks.

"Menggunakan bahasa yang tidak terkesan menghakimi membantu kami untuk mengembangkan produk yang memungkinkan kami untuk berkomunikasi dengan orang-orang dengan sudut pandang beragam," kata Facebook ketika itu.

Pada awal tahun ini, Zuckerberg juga mengumumkan keputusan Facebook untuk mengubah algoritmanya sehinga Anda akan lebih sering melihat konten buatan teman dan keluarga Anda di beranda dan bukannya konten penerbit atau media. Zuckerberg ingin, pengguna menghabiskan waktu lebih sedikit di Facebook, tapi waktu tersebut adalah waktu berkualitas.

Namun, hal membuat pembuat konten dan media menjerit. Bahkan, ada penerbit yang sampai harus tutup.

Facebook mengubah algoritmanya sehinga Anda akan lebih sering melihat konten buatan teman dan keluarga Anda di beranda dan bukannya konten penerbit atau media.

Ialah LittleThings, penerbit konten yang fokus pada konten wanita. Sejak diluncurkan pada 2014, LittleThings telah mendapatkan lebih dari 12 juta pengikut di Facebook. Biasanya, menurut Business Insider, video yang diunggah penerbit ini bisa mendapatkan ribuan atau bahkan jutaan view.

Sayangnya, karena keputusan Facebook mengubah algoritmanya, LittleThings kehilangan 75 persen trafik organiknya, yang pada akhirnya berujung pada berkurangnya keuntungan yang mereka dapat.

Sama seperti Facebook, Twitter juga dipenuhi dengan berita palsu dan misinformasi. Studi MIT belum lama ini menunjukkan bahwa "kebohongan" menyebar dengan lebih cepat daripada kebenaran. Pada pertengahan tahun lalu, Twitter sempat dikabarkan tengah mengembangkan fitur laporan yang memungkinkan pengguna untuk melaporkan informasi yang salah.

Pada pertengahan Februari 2018, Twitter kemudian mencoba untuk menyiarkan berita dari TV lokal saat muncul berita buruk seperti bencana, baik bencana alam atau bencana yang disebabkan manusia.

Berdampingan dengan video dari TV lokal, Twitter akan menampilkan kicauan yang membahas kejadian tersebut di beranda penguna. Tujuannya adalah untuk memberikan konten yang kredibel juga relevan pada pengguna.

Sementara Google melawan berita palsu dengan memberikan tool bagi pengguna untuk melaporkan konten yang dianggap tidak pantas atau berisi informasi salah. Selain itu, perusahaan pencarian tersebut juga berjanji untuk memperbaiki algoritma mereka agar hasil pencarian yang ditampilkan menjadi lebih relevan.

Google juga memperbaiki mesin pencari untuk "menampilkan halaman yang lebih bisa dipercaya dan menurunkan ranking konten kualitas rendah", seperti yang dikutip dari The Guardian. Namun, keputusan Google ini dianggap terlalu tidak jelas, menurut ahli mesin pencari dari perusahaan konsultasi Yoast, Joost de Valk.

Apa yang Google lakukan terbukti tidak efektif ketika berita hoaks tetap menyebar tidak lama setelah terjadi penembakan di Parkland, Florida. New York Times melaporkan, ribuan post dan video muncul di YouTube dan Facebook yang berisi klaim salah bahwa orang-orang yang selamat dari penembakan mematikan itu merupakan aktor bayaran. Selain itu, juga muncul berbagai teori konspirasi lainnya.

Baik Facebook, Twitter, Google maupun YouTube mendapatkan kritik keras karena platform mereka dianggap bisa digunakan untuk menyebarkan propaganda pihak ketiga. Facebook dan YouTube menyebutkan bahwa mereka akan mengembangkan sistem kecerdasan buatan untuk membantu mereka mengidentifikasi dan menghapus konten yang ilegal. Sayangnya, teknologi tersebut masih jauh dari sempurna.

Keduanya juga mengatakan akan mempekerjakan orang-orang sebagai moderator untuk memeriksa konten yang diunggah ke platform mereka. Facebook mempekerjakan 1.000 moderator baru untuk meninjau konten di jejaring sosialnya. Sementara YouTube berencana untuk mempekerjakan total 10 ribu moderator pada akhir tahun ini.Meskipun tidak selamanya berhasil, terlihat jelas bahwa perusahaan-perusahaan teknologi terus berusaha untuk memperbaiki platform mereka, memastikan bahwa informasi palsu dan kebohongan tidak mudah menyebar.

Memang, perubahan yang mereka lakukan bisa memberikan dampak buruk pada bisnis yang menggantungkan diri pada media sosial. Namun, perubahan itu juga berarti bahwa penyebaran konten hoaks juga akan lebih sulit dilakukan.

Tugas pemerintah kita

Selain penindakan oleh polisi, penyebaran hoaks bisa diminimalisir dengan edukasi. Masyarakat Telematika Indonesia dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menganggap, salah satu alasan hoaks begitu cepat menyebar adalah karena rendahnya tingkat literasi internet masyarakat.

Karena itu, keduanya bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia untuk membuat masyarakat semakin mengerti soal penggunaan internet. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika semestinya berada di garda terdepan untuk menggalakkan literasi digital secara berkesinambungan, bukan semata-mata program singkat dan dadakan.

Di luar itu, kita sebagai pengguna media sosial, mestinya bersikap lebih kritis terhadap segala informasi yang beredar karena, mengutip ucapan Mr.Robot, media sosial adalah "Controlled isolated bubbles".

Tag
Share
×
tekid
back to top