Migrasi 3G diperlukan untuk percepat transformasi digital

Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sedang mengupayakan peningkatan pengalaman seluler masyarakat. Penggelaran 5G yang dilakukan pada 27 Mei lalu, menandakan salah satu peningkatan yang signifikan, setelah Kemenkominfo melakukan pelelangan pita frekuensi 2,3GHz

Sayangnya, menurut analisis dari perusahaan mobile analitik Opensignal, Indonesia belum cukup matang untuk dapat melakukan transformasi digital ini. Meskipun 5G sudah digelar, nyatanya masih banyak penduduk yang belum bermigrasi ke 4G. OpenSignal mencatat, terdapat 67,5% pengguna yang tidak berlangganan 4G dan memilih menggunakan 3G.

Tentunya hal ini dapat memperlambat transformasi digital di Indonesia. Faktor utama banyaknya masyarakat yang masih menggunakan 3G bukan karena masalah jangkauan, melainkan karena pilihan mereka sendiri. Maka dari itu, spektrum jaringan yang sudah lama perlu dihapus, agar masyarakat dapat berevolusi ke inovasi yang lebih baru. 

Beberapa operator di Indonesia diketahui masih bergantung pada pita 900 MHz dan 1800 MHz untuk menyediakan 2G dan 2100 MHz untuk mendukung 3G. Sementara, operator lain mulai memperbaharui bagian dari pita 800 MHz, 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz untuk 4G.

Sejalan dengan itu, pelelangan frekuensi oleh Kominfo juga dilakukan bukan semata-mata untuk mengimplementasikan 5G di masa depan, tapi juga untuk mempercepat infrastruktur jaringan seluler 4G. Terlepas dari Telkomsel yang memanfaatkan spektrum untuk penyebaran 5G dengan bandwidth 30 MHz dalam rentang 2.300 MHz hingga 2.330 MHz, Smartfren memanfaatkannya untuk peningkatan kapasitas dan kualitas layanan yang sudah ada.

Jika seluruh operator bisa memperbarui spektrum 2G/3G mereka ke layanan 4G, maka ini akan sangat membantu percepatan penyebaran jaringan. Ini juga dapat menjembatani kesenjangan digital yang ada, sehingga mendorong perkembangan sosial-ekonomi yang positif.