sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id telkomsel
Rabu, 13 Sep 2017 10:01 WIB

Menguji Endless OS, seperti pakai Android dalam laptop

Sederhana, mudah digunakan, dan masih perlu dipoles lagi.

Suatu hari, saya disodorkan sistem operasi komputer (OS) baru, Endless OS. Dibandingkan dengan Windows, MacOS, dan lainnya, Endless OS bisa dibilang belum matang betul. Wajarlah, OS ini gratis dan baru saja dikembangkan.

Eit, jangan anggap remeh dulu. Endless OS ini memang dirancang untuk pengguna yang baru pertama kenal komputer atau pemula. Jadi sebenarnya, cocok untuk siswa SD atau sekolah menengah yang sedang belajar di atas notebook murah.

Semangat sang pencipta OS ini, boleh juga. Tentunya, ini bisa menurunkan harga notebook cukup signifikan. Kita tahu, harga notebook bisa satu dua juta lebih mahal dari aslinya, akibat dipaketkan dengan satu OS orisinil bukan?

Praktis, Endless OS ini muncul sebagai OS alternatif, terutama bagi pengguna yang belum mengenal komputer sama sekali. Seberapa gampang dan bergunanya sistem operasi ini? Berikut pengalaman saya menggunakannya. Untuk diketahui, kami menguji Endless OS versi 3.2.4 menggunakan notebook Asus A456U.

Booting lama

Saya kecewa dengan waktu booting Endless OS. Saya menghitung dengan stop watch, Endless OS butuh waktu 51 detik sejak pertama kali memencet tombol power notebook, sampai akhirnya OS jalan di komputer.

Saya bandingkan dengan Windows 10 yang saya pakai di atas notebook berspesifikasi serupa. Windows 10 hanya butuh waktu booting 35 detik saja, dari pertama kali saya memencet tombol power sampai OS jalan.

UI dan UX memuaskan

Karena semua aplikasi ditempel di tengah-tengah layar, saya tidak ragu untuk mengeksploitasi semuanya. Bisa dibilang, ini strategi yang jitu. Endless OS seperti langung mengajak pengguna mengeksplorasi aplikasi-aplikasi di depan mata. Satu cara berkenalan yang menarik.

Meski tampilan UI sederhana, desainnya enak dipandang. Aplikasinya sudah berkelompok dalam folder-folder kategori. Ini membuat saya lekas menguasai Endless OS. Tampilannya membuat saya merasa menggunakan Android di dalam komputer. Sementara pengalaman menggunakannya pun mengingatkan saya pada Windows, MacOS, dan Linux. Mungkin pengembangnya mengambil semua unsur UX terbaik dari ketiga OS besar tersebut.

Di pojok kanan bawah, ada tombol mirip sinyal Wi-Fi. Namun ternyata fungsinya untuk task switcher dan multi tasking. Tidak perlu ctrl+alt+del lagi, lewat tombol mirip sinyal Wi-Fi itu kita bisa langsung menutup paksa aplikasi yang crash atau not responding. Sementara tombol di pojok kiri bawah berfungsi sebagai tombol home.

Saya mengkritisi penempatan tombol shut down di Endless OS. Akan jauh lebih gampang bila tombol shut down ditempatkan terpisah dan tidak tersembunyi di bar. Saya harus mencari-cari tombol shut down yang sembunyi di pojok kiri bawah. Alamak! saya lupa, ini bukan Windows.

Namun saya yakin, seorang pemula pun akan mencari tombol shut down ini nantinya. Celakanya, dulu waktu SMP, saya kerap lupa mematikan komputer dengan benar. Dengan gampangnya dulu saya memencet tombol power komputer, karena berpikir benda itu sama saja dengan televisi. Saya khawatir, anak-anak yang menggunakan Endless OS pertama kali juga berpikiran sama. Itu malah bisa merusak hardware komputer mereka.

Hal kedua yang ingin saya kritisi adalah, ukuran ikon-ikon yang sangat kecil. Saya perlu memperbesar ukuran ikon-ikon agar sedikit lebih nyaman. Padahal, ruang yang tersisa di layar komputer cukup lebar.

Work Station

LibreOffice menjadi aplikasi andalan untuk tempat bekerja sehari-hari di Endless OS. Saya tidak masalah dengan aplikasi ini. Saya menulis draft review ini pun menggunakan LibreOffice Writer. Tentu, bagi pemula, butuh waktu untuk menguasai aplikasi ini. Namun karena pemakaiannya persis Microsoft Office, saya cepat menguasai fitur-fitur utama. Utilitasnya terbilang bagus. Dokumen yang saya buat dan saya simpan langsung tersimpan dalam format .doc, .xls, dan .ppt. Ini memudahkan saya untuk mengirim file word, excel, maupun power point dari Endless OS ke OS lainnya baik lewat email maupun flash drive.

Setting

Saya ingat waktu pertama kali belajar komputer. Salah satu kendala yang sering saya dapati adalah Bahasa. Bahasa Inggris menjadi bahasa satu-satunya dalam OS Windows kala itu. Endless OS menawarkan setting Bahasa Indonesia. Setting Bahasa Indonesia memudahkan pengguna awal, apalagi anak-anak. Bila saja Bahasa Indonesianya sedikit lebih luwes, ini luar biasa. Saya yakin setting Bahasa Indonesia di Endless OS akan terus diperbaharui.

Pada awalnya, touchpad notebook Asus yang saya pakai sangat sensitif. Beberapa kali saya harus terpeleset mengetik di Endless OS karena kursor mouse berpindah sendiri. Terkadang, ada aplikasi yang tidak sengaja terpencet karena menyenggol sedikit permukaan touchpad. Akhirnya, saya pun bisa mengendalikan liarnya touchpad di dalam Endless OS lewat menu setting.

Saya juga bisa memodifikasi shortcut di atas keyboard sesuai kebutuhan saya. Setting lainnya meliputi volume suara, kecerahan layar, Bahasa, dan lain-lain juga mudah untuk diatur. Saya tidak lupa untuk mencoba menyambungkan Endless OS dengan koneksi WiFi dan Bluetooth. Tidak ada masalah atau bug dengan semua konektivitasnya.

Saya sebenarnya ingin agar setiap kali update, Endless OS memunculkan notifikasi kepada penggunanya, seperti update dalam Android. 

Aplikasi dan fitur

Aplikasi multimedia bawaannya lebih dari cukup untuk sebuah OS entry-level. Untuk pemutar video, Endless OS mempercayakannya pada VLC media player. Tentu, semua file audio dan video MP4, mkv, avi bisa dimainkan dengan baik. Saya mencobanya untuk memutar multimedia mkv dan MP4 lewat flash drive. Hasilnya luar biasa enteng dan lancar tanpa ada kendala.

Menariknya, beberapa aplikasi, seperti Ensiklopedia di dalam Endless OS ini bisa dijalankan secara offline. Tentu ini sangat berguna bagi siswa di daerah dengan akses internet yang terbatas. Ketika mendapatkan jaringan internet, aplikasi-aplikasi ini bisa diperbarui dan datanya bisa lebih diperkaya lagi.

Endless OS bisa menjalankan Steam. Oleh karena itu, OS ini bisa memainkan beberapa game lain yang bukan bawaannya. Hanya saja, beberapa model kartu grafis belum didukung oleh Endless OS seperti Nvidia. Seperti Android, OS ini juga menyediakan semacam Apps Store di dalamnya. Di sini, kita bisa mengunduh aneka aplikasi sesuai kebutuhan. Karena saya pikir segmentasinya untuk SD dan SMP, saya terkejut, melihat di bagian Dev Tools ada banyak aplikasi tingkat lanjut. Ada aplikasi seperti 3D CAD untuk desain, Arduino IDE untuk yang suka menulis sirkuit elektronik. Ada banyak aplikasi lain yang bisa dimanfaatkan adik-adik SMK.

Kesimpulan

Saya puas dengan Endless OS. Cocok untuk pemula, pelajar, maupun yang punya dana terbatas. Saya harap, Endless OS berkembang lebih jauh lagi dengan solusi-solusi yang lebih menarik di kemudian hari. Jangankan siswa, pekerja seperti saya juga tertarik punya OS gratisan yang bisa buat apa saja.

Share
×
tekid
back to top