Kreator Konten Makin Mengandalkan AI, tapi Terlalu Banyak Alat Digital Justru Hambat Produktivitas
Riset Dropbox mengungkap pekerja kreatif makin bergantung pada AI, namun kelebihan alat digital justru menurunkan produktivitas dan fokus berkarya.
Penggunaan alat digital untuk bekerja. dok. Freepik
Di tengah maraknya adopsi kecerdasan buatan dalam dunia kreatif, sebuah laporan terbaru dari Dropbox menunjukkan gambaran yang tidak sepenuhnya manis.
Meski 95% pekerja kreatif sudah menggunakan AI untuk membantu pekerjaan mereka, mayoritas justru mulai merasakan “kelelahan teknologi” akibat terlalu banyak alat digital dan alur kerja yang semakin terpecah.
Riset tersebut menyoroti para kreator rata-rata menggunakan 14 alat digital berbeda dalam pekerjaan sehari-hari.
Akibatnya, alih-alih mempercepat pekerjaan, banyaknya tools justru menyebabkan pengiriman proyek lebih lambat, kualitas kerja menurun, hingga margin keuntungan ikut tertekan.
- Red Hat Perkuat Inferensi AI di AWS, Dorong Kinerja Tinggi dan Efisiensi Biaya AI Generatif
- Google dan OpenAI Luncurkan Pembaruan Model AI dalam Waktu Berdekatan, Sinyal Perang AI Makin Intens
- Prediksi Tren AI Analog Devices: Makin Terasa Nyata dengan Physical AI dan Desentralisasi di Perangkat Humanoid
- Lonjakan Agentic AI Picu Peningkatan Risiko Siber: F5 Peringatkan Kesenjangan Keamanan API di Asia Pasifik
“Setiap klik tambahan, setiap berkas yang hilang, setiap kali Anda harus mengingat sistem mana yang menyimpan sesuatu, semuanya menggerogoti kapasitas kreatif,” ujar Andy Wilson, Senior Director Dropbox, dikutip dari TechRadar.
Temuan Dropbox menunjukkan potensi kerugian produktivitas yang amat besar jika persoalan ini dibiarkan.
Bagi tim kreatif beranggotakan 10 orang, waktu terbuang akibat penggunaan alat yang terlalu banyak bisa mencapai 1,5 hari per orang per bulan, setara dengan kerugian sekitar 144.000 poundsterling (Rp3,15 miliar) per tahun.
Pada agensi dengan 200 tenaga kreatif, angka itu melonjak menjadi 2,88 juta poundsterling (Rp63 miliar).
Padahal, menurut riset tersebut, sekadar pengelolaan digital yang lebih baik bisa meningkatkan performa hingga 54%.
Meski sebagian besar kreator memakai AI, alasan utama mereka menggunakan teknologi ini ternyata bersifat sangat praktis.
Masalahnya, kemampuan AI generik belum mampu membantu secara optimal dalam konteks kreatif yang kompleks. Sebanyak 34% kreator mengaku mudah lupa informasi dari panggilan, sementara 26% sering lupa lokasi penyimpanan file penting.
“Semakin sedikit waktu yang Anda habiskan untuk mencari-cari sesuatu, semakin banyak waktu yang Anda miliki untuk ide,” tambah Wilson.
“Dengan menangani sisi administratif seperti pencarian file, version control, hingga merangkum catatan, AI dapat membantu tim lebih lama berada dalam kondisi ‘flow’,” imbuhnya.
Meski sudah banyak digunakan, satu dari tiga pekerja kreatif menilai AI sering gagal memahami konteks proyek mereka. Inilah yang mendorong munculnya kebutuhan terhadap AI agentic, bukan sekadar chatbot generik, tetapi AI yang memahami konteks kerja dan terintegrasi langsung dalam alur kreatif.
Dropbox menilai langkah seperti konsolidasi alat kerja dan penggunaan AI berbasis konteks dapat mengembalikan waktu kreatif yang hilang.
Dengan lebih sedikit hambatan administratif, pekerja kreatif dapat kembali fokus pada hal yang paling penting: menghasilkan karya.









