sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id telkomsel
Kamis, 29 Mar 2018 11:00 WIB

Thomas Djamaluddin dan harapan besar dunia antariksa Indonesia

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin punya banyak harapan besar soal LAPAN dan dunia antariksa nasional indonesia

Thomas Djamaluddin dan harapan besar dunia antariksa Indonesia
(Foto: Erlanmart/Tek.id)

Luar angkasa merupakan wilayah yang tak mudah dijamah oleh sembarang orang. Diperlukan pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni demi mengeksplorasi dunia selain Bumi.

Sejauh ini National Aeronautics and Space Administration (NASA) menjadi salah satu lembaga yang dijadikan kiblat oleh banyak negara. Namun jangan salah, Indonesia juga memiliki lembaga serupa yang bahkan menjadi lembaga antariksa terbaik se-Asia Tenggara.

Adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang merupakan lembaga pemerintah non kementerian Indonesia yang bertugas di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan serta pemanfaatannya. Sejak 2014, NASA-nya Indonesia itu dipimpin oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin hingga saat ini.

Bukan tanpa cerita, pria kelahiran Cirebon itu menjalani pahit getir kehidupannya hingga menjadi orang nomor satu di LAPAN. Namun keterbatasan yang sempat dirasakan Thomas tak membuatnya berhenti belajar, mengulik dunia luar angkasa.

Minat keantariksaan

Tahun 1975 guru Thomas bertanya dan meminta murid-muridnya menuliskan apa cita-cita mereka. Thomas yang kala itu menempuh studi di SMP 1 Cirebon menulis dalam bukunya "jadi peneliti". Cita-cita itu berangkat dari minat Thomas yang memang tertarik pada penelitian tumbuhan.

"Waktu SMP saya senang meneliti tentang tumbuhan. Jadi tumbuhan biji-biji terutama awal musim hujan kan biji-biji yang dibuang ada rambutan, kedondong, tumbuh. Saya melihat, perhatikan, bagaimana mulai tumbuhnya, di kebun kecil-kecilan dirumah.Nemu biji rambutan baru tumbuh, ambil, tanam terus saya amati pertumbuhannya," ujar Thomas dalam wawancara eksklusif dengan Tek.id.

Selang beberapa tahun ketika Thomas memasuki kelas akhir di tingkat SMP-nya, teman sebayanya dihebohkan dengan pemberitaan terkait UFO yang dipublikasikan oleh majalah Mekatronika dan Scientiae. Topik piring terbang itu juga mampu menghipnotis Thomas serta teman-teman sekolahnya sehingga UFO menjadi pembicaraan mereka.

Menginjakkan kaki di SMA 2 Cirebon, ketertarikan akan dunia antariksa masih melekat pada diri Thomas. Belum lagi minat tersebut didukung dengan fasilitas perpustakaan sekolah yang menyediakan buku terkait makhluk luar angkasa. Lembar demi lembar buku karya Erich von Daniken berhasil "dilahap" Thomas hingga memunculkan pertanyaan akan korelasi antariksa dalam pandangan agama.

Di usianya yang baru mengenyam pendidikan awal di SMA, Thomas mencoba membuat tulisan terkait korelasi UFO dengan agama. Berbekal referensi dari perpustakaan sekolahnya, tuisan Thomas kemudian dimuat dalam majalah Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan judul 'UFO: Bagaimana Menurut Agama?'. Dari titik inilah Thomas mulai mantap mengalihkan minatnya dari penelitian tumbuhan ke dunia antariksa.

Nasib baik tampaknya memang berpihak pada Thomas Djamaluddin kala itu. Ketika ia mengenyam pendidikan SMA tingkat akhir, ITB membuka penerimaan mahasiswa melalui jalur tes dan tanpa tes. Beruntungnya, ITB pun pada saat itu membuka jurusan Astronomi yang senada dengan minat Thomas.

"Dulunya, sebelum tahun 1981 hanya IPB (yang menerima mahasiswa tanpa tes). Tahun 1981 mulai ITB juga menerima... Alhamdulillah saya diterima tanpa tes di ITB, dan langsung disebut dalam surat permohonan, saya berminat masuk astronomi," kata Thomas mengenang. Di Kampus inilah Thomas kemudian belajar terkait keantariksaan dan mempertebal pengetahuan luar angkasa.

Berkarier di LAPAN

Jelang lulus dari ITB dengan jurusan astronomi, dewi fortuna tampaknya masih berpihak pada Thomas. Salah seorang alumni ITB yang telah bekerja di LAPAN berkat jurusan astronomi bertandang ke almamaternya. Orang tersebut lantas mengajak Thomas untuk berkarier bersamanya di LAPAN.

"Ayo masuk LAPAN aja, nanti disekolahkan. Mendengar 'nanti disekolahkan', ya sudah kemudian saya mau, padahal cita-cita awal saya mau jadi dosen dan pembimbing saya juga berharap saya jadi dosen," kata Thomas sambil tersenyum.

Thomas mengikuti tes untuk masuk menjadi staf di LAPAN. Padahal ia masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di ITB. Namun ketentuan perekrutan pegawai saat itu tak serumit saat ini. Diakui Thomas, ketika ia menghadap Kepala LAPAN kala itu ia dianggap lulus oleh pemimpin lembaga antariksa tersebut.

Bahagia hati Thomas ketika lolos tes di LAPAN rupanya menjadi kekecewaan sang pembimbing skripsinya. "Sudah nggak usah bimbingan," katanya saat itu, karena ia berharap Thomas menjadi dosen. Namun berkat masukan dari berbagai dosen akhirnya Thomas tetap bisa melanjutkan bimbingan dengan dosen pembimbing yang sama.

Per 1 November 1986 Thomas Djamaluddin resmi tercatat sebagai peneliti antariksa di LAPAN. Selang setahun kemudian, sesuai dengan harapannya Thomas mendapat tawaran untuk melanjutkan studi di Kyoto University, Jepang. Thomas mengenyam pendidikan di Departemen Astronomi Kyoto University hingga memperoleh gelar doktor.

Tahun 1994 Thomas mulai mengabdikan diri secara penuh di LAPAN. Beberapa jabatan yang pernah diemban yakni Peneliti Antariksa, Kepala komputer Induk, Kepala Bidang Matahari, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, serta Deputi Sains.

Disisi lain, Thomas juga menjadi dosen di UIN Semarang. Tak hanya itu, pria kelahiran 1962 itu juga aktif menulis di berbagai media termasuk menjadi tim hisab rukyat di Kementerian Agama. Kini, Thomas menjabat sebagai Kepala LAPAN hingga periode 2019.

Antariksa dan masa depannya di Indonesia

Bertahun-tahun berkarir di LAPAN membuat Thomas memahami bagaimana kondisi antariksa di Indonesia. Menurutnya meski tertinggal jika dibandingkan dengan NASA, teknologi antariksa Indonesia tergolong yang terbaik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara.

Yang menjadi kendala yakni jumlah anggaran serta jumlah Sumber Daya Manusia (SDM). Bukan berarti minat untuk menjadi antariksawan rendah di Indonesia, melainkan dukungan yang masih kurang dari pemerintah.

"Kebijakan nasional dan keterbatasan nasional belum memungkinkan. Dari segi anggaran, di Indonesia pengembangan teknologi antariksa belum menjadi prioritas. Padahal di negara-negara seperti India yang pendapatan per kapitanya lebih rendah tapi komitmen pemerintahnya, teknologi antariksa itu mendapatkan prioritas. Karena mereka menganggap teknologi antariksa itu bisa membawa kebanggaan nasional," ujar Thomas.

Sejatinya, teknologi antariksa juga tak kalah penting dari teknologi informasi dan komunikasi yang banyak dikembangkan dan dimanfaatkan. Thomas menuturkan, teknologi antariksa menjadi salah satu dari dua teknologi yang mempengaruhi kehidupan manusia modern.

"Tanpa teknologi antariksa, teknologi informasi pun tak akan maju. Jadi manusia modern ini membutuhkan dua (teknologi). Memang ada teknologi kedokteran dan lainnya tapi yang membutuhkan adalah mereka yang sakit misalnya, yang sehat belum perlu. Kalau teknologi informasi dan antariksa semua orang perlu karena untuk komunikasi," kata Thomas.

"Untuk komunikasi orang membutuhkan teknologi antariksa, mau tidak mau harus ada satelit. Jadi kedepannya memang teknologi antariksa menjadi bagian dari teknologi yang mempengaruhi peradaban manusia. Tanpa teknologi antariksa, kehidpan manusia modern lumpuh, karena segala sesuatu saat ini membutuhkan satelit," imbuh Thomas menjelaskan.

Untuk dunia antariksa di Indonesia, Thomas berambisi Tanah Air yang mampu mandiri sebagaimana visi LAPAN "Kemandirian teknologi antariksa". Thomas sesumbar Indonesia telah memiliki dasar yang mendukung teknologi tersebut dimana keberadaannya di ekuator atau garis khatulistiwa.

Ekuator sendiri dinilai menjadi lokasi yang paling bagus untuk peluncuran wahana antariksa. Belum lagi kemampuan Indonesia yang bisa membangun satelit sendiri. Alhasil jika Indonesia mampu memanfaatkan bekal tersebut dan mandiri dalam memanfaatkan teknologi antariksa, Tanah Air akan semakin maju.

"Negara yang menguasai teknologi antariksa dianggap sebagai negara yang maju. Kita sudah mampu membangun satelit sendiri. Indonesia terbilang pelopor membangun satelit di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara baru Indonesia yang mengembangkan teknologi roket. Kita menargetkan roket kita bukan hanya untuk jarak dekat tapi untuk meluncurkan satelit juga," terang Thomas menjelaskan ambisinya.

Lebih lanjut, Thomas menuturkan jika pemerintah menjadikan teknologi antariksa sebagai prioritas, maka pengembangan kemampuan SDM pun juga bisa dipacu. Kemampuan Indonesia untuk mandiri dalam penguasaan teknologi antariksa pun akan membuat negara tak hanya dimanjakan satelit buatan "asing", namun memberdayakan SDM sendiri, merakit hingga menikmati satelit karya bangsa.

LAPAN vs NASA

NASA kerap menjadi salah satu kiblat dalam menambang pengetahuan antariksa. Pasalnya lembaga milik pemerintah Amerika Serikat (AS) itu, kerap melangsungkan misi eksplorasi luar angkasa dengan menggunakan berbagai roket dan satelit peluncur yang dikembangkan secara mandiri maupun melibatkan perusahaan swasta.

Ambisi untuk mencapai kesuksesan layaknya NASA memang bukan hal yang terlarang. Justru ambisi tersebut akan menjadi motivasi agar LAPAN tak dipandang sebelah mata.

Ditanya kapan LAPAN setara dengan NASA, Thomas memang tak pesimis. Menurutnya, ada kemungkinan untuk LAPAN mendekati pencapaian NASA tentunya dengan dukungan dari semua pihak termasuk pemerintah. Klaim ini mengacu pada penilaian Thomas bahwa ekonomi di Indonesia sudah tergolong seperti negara maju, hanya diperlukan kebijakan dari pemerintah terkait penguasaan teknologi demi meningkatkan daya saing.

"Kalau menyetarakan NASA (dengan LAPAN) sama, susah. Tapi minimal makin lama makin mendekati. Dari segi ekonomi kita sudah masuk negara maju sebenarnya. Maka kalau kemudian kebijakan pemerintah pun diarahkan untuk penguasaan teknologi dan penyebutan 'meningkatkan daya saing' bukan hanya slogan tapi terwujud dalam kebijakan termasuk penguasaan teknologi untuk meningkatkan daya saing, saya kira gap-nya makin dekat," kata Thomas.

Kepala LAPAN itu menegaskan target terkait kemandirian antariksa yang mengantarkan LAPAN mendekati NASA bisa diwujudkan pada tahun 2040. Alhasil Indonesia sebagai negara maju yang menguasai teknologi antariksa bisa benar-benar diwujudkan jelang 100 tahun Indonesia merdeka di 2045.

"Setidaknya penguasaan tekologi antariksa kita, tingkat kemandirian kita lebih baik lagi. Kita bercita-cita mempunya bandar antariksa sendiri, roket peluncur satelit sendiri, membuat satelit sendiri. Jadi kemandirian keantariksaan 2040, menjelang 100 tahun Indonesia merdeka. 2045 Indonesia merdeka, gambaran Indonesia negara maju yang menguasai teknologi antariksa sudah benar-benar terwujud," ujar Thomas berharap.

LAPAN dalam genggaman Thomas Djamaluddin

Hampir sepanjang hidupnya setelah menempuh studi astronomi di ITB dan Kyoto University, Thomas Djamaluddin mengabdikan diri di LAPAN. Posisi kepala LAPAN sendiri telah diemban Thomas sejak tahun 2014 dengan periode kepemimpinan selama lima tahun.

Sejauh ini, Thomas menuturkan telah mengantarkan rencana strategis LAPAN dengan visi mewujudkan LAPAN sebagai pusat unggulan penerbangan dan antariksa. Dalam praktiknya, LAPAN telah memiliki 7 pusat unggulan yang tersebar di berbagai daerah.

"Dari tujuh pusat teknis yang ada di LAPAN, 3 sudah ditentukan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebagai pusat unggulan IPTEK, dua sedang dibina dan dua lagi tahun ini akan didaftarkan sebagai pusat unggulan IPTEK. Jadi saya menargetkan 2019 akhir dalam tahapan rencana strategis LAPAN, itu bisa diwujudkan. Tujuh pusat unggulan IPTEK dan satu pusat unggulan kebijakan antariksa," katanya.

Selanjutnya, Thomas mengharapkan LAPAN mampu mendorong perusahaan swasta untuk turut andil di sektor antariksa. Dengan begitu, pemain di dunia antariksa Indonesia tak hanya dikuasai LAPAN namun juga pihak swasta.

Kepmimpinan Thomas Djamaluddin sebagai kepala NASA-nya Indonesia akan berakhir pada 2019. Ia menuturkan akan tetap mengabdikan dirinya di dunia antariksa baik menjadi peneliti di LAPAN maupun dosen di berbagai perguruan tinggi. Thomas juga tak menampik kesiapannya jika periode selanjutnya dirinya masih terpilih untuk menjabat kursi nomor satu di LAPAN.

Share
×
tekid
back to top