Riset Cisco: Perusahaan yang Siap Terapkan AI 3 Kali Lebih Unggul dalam Persaingan Bisnis
Studi Cisco menunjukkan perusahaan yang siap terapkan AI tiga kali lebih unggul dalam mengubah inovasi menjadi nilai bisnis yang terukur.
Ilustrasi AI di tempat kerja
Sebuah studi terbaru dari Cisco (NASDAQ: CSCO) mengungkapkan fakta menarik tentang kekuatan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia bisnis.
Menurut Cisco AI Readiness Index 2025, perusahaan yang telah siap memanfaatkan AI memiliki peluang tiga kali lebih besar untuk membawa proyek percontohan ke tahap produksi nyata, serta 20 persen lebih mungkin menghasilkan nilai bisnis yang terukur dibandingkan perusahaan lain.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 8.000 pemimpin AI dari 30 negara dan 26 industri ini menemukan sekitar 23 persen perusahaan di Indonesia masuk kategori “Pacesetters”, kelompok perusahaan yang paling matang dalam strategi, tata kelola, dan infrastruktur AI.
Persentase ini bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang mencapai 13 persen.
- Pertumbuhan Pengguna ChatGPT Mulai Melambat, Google Gemini Menyusul dengan Fitur Nano Banana
- DeepSeek Rilis Model AI V3.2 dan V3.2 Speciale: Tantang Dominasi GPT-5 dan Gemini 3 Pro
- AWS re:Invent 2025 Jadi Pembuktian Reformasi AI AWS dengan Chip Baru, UltraServer, dan Layanan Mandiri
- Nvidia Perkenalkan Model ‘Alpamayo-R1’, Model AI untuk Pengembangan Kendaraan Otonom Tingkat Lanjut
Country Leader Interim Cisco Indonesia Sheldon Chen menegaskan kesiapan menjadi faktor utama dalam menentukan nilai nyata dari implementasi AI.
“Cisco AI Readiness Index tahun ini menjelaskan satu hal: kesiapan menentukan pencapaian nilai. Perusahaan yang siap memanfaatkan AI terbukti tiga kali lebih cepat membawa proyek dari tahap uji coba ke implementasi penuh dan lebih mampu memperoleh hasil yang nyata,” ujarnya.
Hasil riset tersebut menunjukkan perusahaan dalam kategori Pacesetters tidak lagi memandang AI sebagai proyek tambahan, melainkan bagian integral dari strategi bisnis mereka.
Hampir seluruh perusahaan dalam kategori ini telah memiliki peta jalan AI yang jelas, sistem pendanaan jangka panjang, serta infrastruktur yang dirancang untuk menghadapi pertumbuhan data dan kompleksitas sistem di masa depan.
Mereka membangun jaringan yang fleksibel, berinvestasi pada pusat data baru, dan memiliki mekanisme keamanan digital yang terintegrasi dengan sistem AI mereka.
Pendekatan yang disiplin dan berorientasi jangka panjang ini menghasilkan dampak nyata. Di tingkat global, 90 persen perusahaan Pacesetters melaporkan peningkatan signifikan pada profitabilitas, produktivitas, dan inovasi.
Di Indonesia, dampak positif juga mulai terlihat meski skalanya masih berkembang seiring dengan peningkatan investasi dan kesiapan infrastruktur digital.
Laporan Cisco juga menyoroti fenomena baru yang disebut agentic AI, sistem AI yang dapat berpikir, bertindak, dan belajar secara otonom.
Sebanyak 97 persen organisasi di Indonesia berencana mengadopsi teknologi ini, dan 45 persen di antaranya berharap agentic AI bisa bekerja berdampingan dengan karyawan manusia dalam waktu satu tahun ke depan.
Namun, ambisi besar ini belum sepenuhnya diimbangi dengan kesiapan infrastruktur. Masih banyak perusahaan yang mengaku jaringan dan kapasitas GPU mereka belum mampu menangani lonjakan beban kerja atau kompleksitas data yang dihasilkan AI.
Dalam laporan tersebut, Cisco juga memperkenalkan konsep AI Infrastructure Debt, istilah yang menggambarkan “utang digital” akibat keterlambatan investasi teknologi dan pembaruan arsitektur jaringan.
Utang ini menjadi hambatan tersembunyi yang dapat mengikis nilai bisnis AI dalam jangka panjang.
Sekitar 70 persen responden di Indonesia mengaku masih kesulitan memusatkan data, sementara hampir separuh belum memiliki kapasitas GPU yang memadai. Kondisi ini menjadi peringatan dini bagi perusahaan agar segera memperkuat fondasi digital mereka.
Menurut Cisco, kesenjangan antara ambisi dan kesiapan ini merupakan tantangan besar yang akan menentukan arah transformasi digital Indonesia.
Meski demikian, kelompok Pacesetters telah menunjukkan bahwa dengan tata kelola yang disiplin, visi jangka panjang, dan investasi yang konsisten, risiko-risiko tersebut dapat dikelola dengan baik.
“Ketika sistem agentik dan AI otonom mulai membentuk wajah baru dunia bisnis, kesiapan organisasi menjadi kunci utama untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan siapa yang tertinggal,” tutup Sheldon Chen.









