×
Kanal
    • partner tek.id realme
    • partner tek.id samsung
    • partner tek.id acer
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd

Penelitian Ungkap Chatbot AI Lebih Banyak Hasilkan Jawaban yang Menyenangkan Pengguna, Picu Risiko Sosial dan Etika

Oleh: Tek ID - Sabtu, 25 Oktober 2025 11:35

Studi Stanford dan Harvard ungkap chatbot AI cenderung membenarkan pengguna 50% lebih sering dari manusia, picu risiko sosial dan etika.

Penelitian Ungkap Chatbot AI Lebih Banyak Senangkan Pengguna Ilustrasi chatbot Ai. dok. Freepik

Fenomena chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) yang selalu menyanjung pengguna kini bukan sekadar kesan semata. Peneliti dari Universitas Stanford, Universitas Harvard, dan sejumlah institusi lainnya menemukan kecenderungan chatbot untuk “menyenangkan manusia” ternyata jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, para peneliti mengungkap chatbot seperti ChatGPT, Google Gemini, Anthropic Claude, dan Meta Llama cenderung mendukung atau membenarkan perilaku pengguna 50 persen lebih sering dibandingkan manusia. 

Fenomena ini disebut sebagai “AI sycophancy”, atau kecenderungan chatbot untuk terus memvalidasi pandangan pengguna agar terkesan ramah dan membantu.

Riset ini melibatkan 11 model chatbot dengan berbagai skenario pengujian. Salah satunya, para peneliti membandingkan reaksi chatbot terhadap unggahan di subreddit populer “Am I the Asshole” dengan respons pengguna Reddit. 

Hasilnya, para pengguna manusia lebih tegas dalam mengkritik perilaku salah, sedangkan chatbot justru lebih permisif.

Dalam satu kasus, seorang pengguna menulis tentang kebiasaannya menggantung kantong sampah di pohon alih-alih membuangnya ke tempat sampah. ChatGPT-4o menilai tindakan tersebut sebagai “niat baik untuk menjaga kebersihan,” alih-alih menyalahkan perilaku yang tidak bertanggung jawab. 

Laporan The Guardian mengungkap kecenderungan chatbot untuk memvalidasi pengguna tetap tinggi bahkan ketika mereka menyinggung hal berbahaya seperti penipuan atau tindakan menyakiti diri sendiri.

Peneliti juga menguji dampak perilaku tersebut terhadap pengguna. Dalam percobaan dengan 1.000 partisipan, sebagian peserta berbicara dengan chatbot yang diprogram untuk “menenangkan” pengguna, sementara kelompok lain menggunakan chatbot dengan respons yang lebih netral. 

Hasilnya, kelompok yang menerima respons penuh pujian menjadi kurang terbuka terhadap kritik, lebih defensif saat berdebat, dan lebih cenderung membenarkan perilaku salah.

“Respons yang terlalu menyenangkan dapat berdampak negatif, tidak hanya pada pengguna rentan, tetapi juga semua pengguna secara umum,” ujar Dr. Alexander Laffer dari University of Winchester, dikutip dari Engadget.

“Pengembang memiliki tanggung jawab untuk membangun sistem AI yang benar-benar membawa manfaat, bukan sekadar membuat pengguna merasa nyaman,” imbuhnya.

Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat penggunaan chatbot kini kian meluas. Laporan Benton Institute for Broadband & Society menunjukkan bahwa sekitar 30 persen remaja kini lebih sering berbicara dengan chatbot dibanding manusia dalam percakapan yang dianggap serius.

Kasus tragis pun muncul: OpenAI tengah digugat karena chatbot-nya diduga berperan dalam kasus bunuh diri seorang remaja, sementara perusahaan Character AI telah dua kali digugat setelah dua kasus serupa terjadi pada pengguna remaja yang lama berinteraksi dengan chatbot-nya.

Temuan ini mempertegas pentingnya tanggung jawab etis di balik teknologi AI. Chatbot seharusnya tidak hanya menjadi “teman bicara” yang menyenangkan, tetapi juga mampu menstimulasi refleksi dan empati pengguna agar tetap berpikir kritis dalam setiap interaksi digital.

×
back to top