Menakar Peluang Aset Kripto Jadi Instrumen Pembayaran di Tengah Revisi UU P2SK
Revisi UU P2SK buka peluang kripto tak hanya jadi investasi, tapi juga instrumen pembayaran. Industri desak regulasi adaptif dan harmonis.
Ilustrasi aset kripto. dok. Freepik.com
Wacana penggunaan aset kripto sebagai instrumen pembayaran kembali menguat seiring pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Isu ini dinilai strategis karena bisa membawa kripto melampaui peran tradisionalnya sebagai sekadar instrumen investasi.
Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI) mendorong agar revisi UU P2SK memberi ruang lebih luas bagi inovasi, termasuk harmonisasi regulasi antara perbankan, sistem pembayaran, dan aset digital.
Wakil Ketua Umum Aspakrindo-ABI Yudhono Rawis mencontohkan Amerika Serikat yang mulai mengakui stablecoin sebagai alat pembayaran sehari-hari.
- OJK: Ratusan Perusahaan Indonesia Mulai Berinvestasi di Aset Kripto
- Tokocrypto Luncurkan OTC, Permudah Investor Besar Transaksi Kripto Tanpa Ganggu Harga Pasar
- Aktivitas Kripto Melonjak, Bank Indonesia Siapkan Stablecoin Nasional Berbasis Rupiah Digital
- Pajak Aset Kripto Capai Rp 1,71 Triliun, Pelaku Industri Optimistis Kontribusi Terus Tumbuh
"Harapan kami dengan harmonisasi antarinstitusi, kripto bisa berkembang dari instrumen investasi menjadi pembayaran," ujarnya dalam rapat Panja Revisi UU P2SK bersama Komisi XI DPR RI akhir September lalu.
CEO Tokocrypto Calvin Kizana menyambut positif usulan tersebut dengan menekankan perlunya regulasi progresif dan adaptif.
Menurutnya, regulasi yang jelas akan memberi kepastian hukum, sekaligus membuka jalan bagi adopsi kripto yang lebih luas di masyarakat.
"Inisiatif mendorong kripto sebagai instrumen pembayaran adalah momentum penting agar Indonesia tidak tertinggal. Jika diarahkan dengan tepat, kripto bisa menjadi katalis percepatan digitalisasi keuangan nasional dan memperkuat daya saing fintech global," jelas Calvin.
Ia menambahkan, langkah inovatif juga bisa dilakukan dalam jangka pendek, seperti pemberian insentif pajak, percepatan proses listing token baru, hingga dukungan terhadap produk inovatif seperti staking dan instrumen derivatif.
Meski peluang terbuka, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah masih maraknya exchange ilegal yang menyerap transaksi besar dari pengguna Indonesia.
Selain itu, kebijakan perpajakan juga perlu disesuaikan agar lebih mencerminkan karakter pasar kripto yang lintas batas.
Calvin menekankan pentingnya konsolidasi antarotoritas, yaitu OJK, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak dalam merumuskan regulasi yang seimbang antara perlindungan konsumen, stabilitas sistem keuangan, dan ruang inovasi.
Data Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu mencatat, penerimaan pajak kripto hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp1,61 triliun, atau hampir 4% dari total penerimaan pajak ekonomi digital sebesar Rp41,09 triliun.
"Potensi kripto sebagai instrumen pembayaran tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi, tetapi juga keberanian regulasi untuk beradaptasi. Dengan kebijakan yang tepat, kripto bisa berevolusi menjadi bagian penting dari sistem pembayaran digital nasional," pungkas Calvin.









