CEO Nvidia Jensen Huang Sebut China Berpotensi Unggul dalam Perlombaan AI, Ini Alasannya
CEO Nvidia Jensen Huang menilai China bisa unggul dalam perlombaan AI jika AS terlalu membatasi akses teknologi. Ia minta kebijakan lebih inklusif.
CEO NVIDIA Jensen Huang (NVIDIA)
CEO Nvidia Jensen Huang memicu perdebatan baru terkait persaingan teknologi global setelah menyatakan China berpotensi memenangkan perlombaan kecerdasan buatan (AI).
Menurutnya, perkembangan AI di China saat ini hanya “nanodetik” di belakang Amerika Serikat, dan pembatasan akses teknologi dapat berdampak pada posisi global AS dalam jangka panjang.
Huang menilai dunia membutuhkan pendekatan yang lebih terbuka dan mengurangi “sinisme” dalam memandang hubungan teknologi antara kedua negara.
Dalam pandangannya, Amerika Serikat tetap harus mempertahankan keunggulan, namun melakukannya dengan merangkul basis pengembang yang besar di China.
- Red Hat Perkuat Inferensi AI di AWS, Dorong Kinerja Tinggi dan Efisiensi Biaya AI Generatif
- Google dan OpenAI Luncurkan Pembaruan Model AI dalam Waktu Berdekatan, Sinyal Perang AI Makin Intens
- Prediksi Tren AI Analog Devices: Makin Terasa Nyata dengan Physical AI dan Desentralisasi di Perangkat Humanoid
- Lonjakan Agentic AI Picu Peningkatan Risiko Siber: F5 Peringatkan Kesenjangan Keamanan API di Asia Pasifik
“Yang penting adalah Amerika menang dengan berlari lebih cepat dan meraih para pengembang di seluruh dunia,” ujar Huang melalui platform X, dikutip dari TechRadar.
Nvidia saat ini menghadapi restriksi penjualan chip AI ke China akibat kebijakan pemerintah AS. Pembatasan ini membuat prosesor-prosesor terbaru Nvidia tidak dapat dijual untuk kebutuhan riset dan pengembangan AI di China.
Huang mengingatkan kebijakan seperti itu bisa berdampak pada penyebaran teknologi berbasis AS. Tanpa akses ke ekosistem Nvidia, China dapat mengembangkan sistem tandingan yang tidak bergantung pada teknologi Amerika.
Ia menjelaskan, perangkat keras tetap menjadi fondasi penting dalam pengembangan AI, karena pusat data membutuhkan prosesor berkinerja tinggi untuk melatih model kecerdasan buatan dalam skala masif.
Jika akses pada teknologi tersebut dibatasi, pasar akan membangun alternatif sendiri dan itu berpotensi mengurangi pengaruh AS secara global.
Perdebatan mengenai ekspor chip juga menjadi isu politik. Presiden AS Donald Trump pernah menyatakan chip Blackwell terbaru Nvidia sebaiknya diprioritaskan untuk kebutuhan Amerika dan interaksi dengan China harus dibatasi.
Namun Huang menilai kebijakan terlalu ketat justru bisa “memisahkan” perkembangan teknologi dunia menjadi dua kubu.
“Kami ingin Amerika memenangkan perlombaan AI, tidak ada keraguan soal itu,” ujar Huang dalam konferensi pengembang Nvidia baru-baru ini.
“Kami ingin dunia dibangun di atas teknologi Amerika. Tetapi kita juga perlu berada di China untuk meraih para pengembang di sana. Kebijakan yang membuat kita kehilangan setengah pengembang AI dunia justru merugikan kita,” tuturnya.
Huang menegaskan pengaruh dalam ekosistem global akan ditentukan bukan hanya oleh siapa pemilik chip paling canggih, melainkan siapa yang berhasil membangun standar teknologi yang dipakai dunia.
Dengan basis pengembang AI China yang terus bertumbuh dan kemampuan riset yang semakin maju, persaingan global AI diprediksi semakin ketat.
Masa depan kemenangan tidak hanya ditentukan oleh inovasi, tetapi juga oleh seberapa terbuka dan strategis kebijakan teknologi dijalankan.









