Studi IBM: Chief AI Officer Bisa Dongkrak ROI Perusahaan Hingga 36%
Studi IBM mengungkap peran Chief AI Officer mampu meningkatkan ROI investasi AI hingga 36% dan jadi strategi kunci perusahaan di Asia Pasifik.
Ilustrasi Chief AI Officer. dok. IBM
Peran Chief AI Officer (CAIO) kian dilirik perusahaan global sebagai strategi baru dalam memaksimalkan investasi kecerdasan buatan (AI).
Studi terbaru IBM Institute for Business Value (IBV) mengungkap organisasi yang memiliki CAIO mencatat ROI 10% lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki, bahkan bisa mencapai 36% lebih tinggi bila CAIO mengadopsi model operasi AI terpusat atau hub-and-spoke.
Namun, tingkat adopsi jabatan ini masih rendah. Di Asia Pasifik, hanya 27% organisasi yang sudah menunjuk CAIO, sedikit di atas rata-rata global 26%.
Di Indonesia, angka itu bahkan lebih kecil, hanya 17% perusahaan yang memiliki CAIO.
- DeepSeek Rilis Model AI V3.2 dan V3.2 Speciale: Tantang Dominasi GPT-5 dan Gemini 3 Pro
- AWS re:Invent 2025 Jadi Pembuktian Reformasi AI AWS dengan Chip Baru, UltraServer, dan Layanan Mandiri
- Nvidia Perkenalkan Model ‘Alpamayo-R1’, Model AI untuk Pengembangan Kendaraan Otonom Tingkat Lanjut
- 3 Tahun ChatGPT: Perkembangan Teknologi AI yang Mengubah Dunia
"Dengan semakin banyak perusahaan Indonesia mempertimbangkan manfaat Kecerdasan Buatan, memiliki Chief AI Officer dapat membantu fokus pada pengembalian investasi teknologi ini untuk model bisnis mereka," ujar Juvanus Tjandra, Managing Partner IBM Consulting Indonesia dalam keterangannya.
"CAIO bisa menggerakkan perusahaan menuju hasil terukur, menghemat biaya, sekaligus membuka peluang peningkatan keterampilan karyawan untuk pertumbuhan lebih lanjut," imbuhnya.
Meski potensinya besar, pengukuran ROI AI di Indonesia masih penuh tantangan. Studi IBM mencatat 89% CAIO di Indonesia menilai perusahaan berisiko tertinggal bila tidak mengukur dampak AI (lebih tinggi dibanding global 72%).
Selain itu, 72% CAIO di Indonesia mengaku tetap memulai proyek AI meski hasilnya belum bisa diukur sepenuhnya.
Hal ini menunjukkan sikap pragmatis, di mana eksekusi tetap berjalan meski metrik belum sempurna.
Perjalanan CAIO di Indonesia mendapat sokongan kuat dari pimpinan perusahaan. Sebanyak 83% CAIO di Indonesia melaporkan dukungan penuh dari CEO, selaras dengan tren global.
Dukungan dari jajaran C-suite juga tercatat sama tinggi, yakni 83%. Menariknya, 50% CAIO ditunjuk dari internal organisasi, menunjukkan komitmen menumbuhkan kepemimpinan AI dari dalam.
Mandat dan Tanggung Jawab CAIO
CAIO di Indonesia memiliki cakupan tanggung jawab luas. Studi IBM mencatat 54% CAIO menjadikan strategi AI perusahaan sebagai prioritas utama dam 50% fokus mengarahkan implementasi AI.
Sementara itu, 39% menyusun strategi change management untuk mendukung adopsi. Namun, hanya 29% yang memprioritaskan pembuatan use case bisnis, di bawah rata-rata global 45%.
Berbeda dengan tren global yang lebih banyak datang dari strategi bisnis, CAIO Indonesia didominasi oleh talenta teknis dengan 72% berlatar belakang data, 61% berfokus pada inovasi (lebih rendah dari global 73%), dan 56% berasal dari bidang teknologi, sedangkan secara global mayoritas berasal dari strategi bisnis.
Adopsi AI
Meski dukungan eksekutif kuat, implementasi AI di Indonesia masih terbatas. Sebanyak 67% organisasi masih berada di tahap pilot project, lebih tinggi dari rata-rata global 60%.
Hanya 18% CAIO yang menilai implementasi AI sebagai tantangan berat, lebih rendah dari global (30%).
Dengan temuan ini, studi IBM menegaskan keberadaan Chief AI Officer bukan sekadar posisi simbolis, melainkan kunci untuk mengoptimalkan strategi AI dan mendorong perusahaan mencapai hasil bisnis yang lebih terukur, berkelanjutan, serta relevan dengan tren global.









