Dosen Indonesia Kembangkan AI untuk Ukur Keterampilan Motorik Anak dan Dorong Pembelajaran yang Lebih Adil
Peneliti Indonesia kembangkan AI untuk menilai keterampilan motorik anak secara objektif dan dorong pendidikan yang adil serta manusiawi.
Ilustrasi AI untuk mengukur kemampuan motorik anak. dok. Freepik
Inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI) kini semakin merambah dunia pendidikan, tak hanya untuk mendukung efisiensi pembelajaran tetapi juga menciptakan sistem evaluasi yang lebih adil dan personal.
Dua peneliti Indonesia menyoroti hal ini dalam ajang The 12th International Conference on Computer, Control, Informatics and Its Applications (IC3INA) yang diselenggarakan oleh Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta.
Salah satu temuan menarik datang dari Della Maulidiya, dosen sekaligus peneliti dari Universitas Bengkulu, yang memperkenalkan inovasi AI untuk menilai keterampilan motorik anak usia dini secara objektif.
Sistem ini diklaim mampu menggantikan metode konvensional yang masih bergantung pada observasi manual guru, sehingga hasil penilaian menjadi lebih terukur dan efisien.
- DeepSeek Rilis Model AI V3.2 dan V3.2 Speciale: Tantang Dominasi GPT-5 dan Gemini 3 Pro
- AWS re:Invent 2025 Jadi Pembuktian Reformasi AI AWS dengan Chip Baru, UltraServer, dan Layanan Mandiri
- Nvidia Perkenalkan Model ‘Alpamayo-R1’, Model AI untuk Pengembangan Kendaraan Otonom Tingkat Lanjut
- 3 Tahun ChatGPT: Perkembangan Teknologi AI yang Mengubah Dunia
Dalam penelitian berjudul Preliminary Evaluation of an AI-Based Postural Assessment Application for Motor Skill Perception in Early Childhood Physical Education, Della dan tim menggunakan MediaPipePose dan OpenCV untuk menganalisis postur tubuh anak, termasuk kemiringan leher dan keseimbangan tubuh.
Hasil analisis tersebut dikategorikan secara otomatis ke dalam dua kelompok: postur baik dan kurang baik.
Uji coba terhadap 25 siswa SD berusia 6–7 tahun menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Tingkat kesesuaian antara hasil analisis AI dan penilaian pakar mencapai Cohen’s Kappa 0,618, yang menandakan tingkat reliabilitas tinggi dalam menilai postur dan kemampuan motorik anak.
Lebih jauh, sistem AI yang dikembangkan Della juga mampu memetakan empat profil motorik anak.
Dengan begitu, guru dapat merancang program latihan yang lebih personal, misalnya latihan side shuffle atau crab walk bagi siswa dengan kelemahan di aspek keseimbangan.
“AI bukan untuk menggantikan peran guru, melainkan menjadi mitra diagnostik yang memberikan data objektif,” jelas Della dikutip dari laman resmi BRIN.
Menurutnya, pemanfaatan AI dalam dunia pendidikan perlu diarahkan untuk membantu guru memahami kebutuhan individu siswa secara lebih akurat. Dengan data yang lebih presisi, intervensi pendidikan dapat dilakukan secara tepat sasaran tanpa mengurangi peran manusia sebagai pengajar utama.
Selain Della, perhatian terhadap aspek etika dan keadilan dalam penerapan AI di dunia pendidikan juga diangkat oleh Ika Diyah Candra Arifah, dosen dari Universitas Negeri Surabaya.
Dalam paparannya berjudul “Menjembatani Adaptasi Algoritmik dan Kesetaraan Andragogis dalam Pembelajaran yang Dipersonalisasi oleh AI”, Ika memperkenalkan konsep “andragogical equity” — prinsip yang menekankan teknologi AI harus menghormati kebutuhan pembelajar dewasa dalam aspek otonomi, relevansi, dan keadilan.
Penelitian yang melibatkan 160 mahasiswa pengguna alat bantu Two-Listed AI ini menemukan bahwa personalisasi pembelajaran berbasis AI dapat meningkatkan pengalaman belajar dan prestasi akademik, terutama ketika peserta didik merasa nyaman dan percaya terhadap teknologi tersebut.
Namun, Ika menegaskan keberhasilan penerapan AI dalam pendidikan tidak semata ditentukan oleh kecanggihan algoritma, melainkan juga oleh bagaimana teknologi diterima dan dirasakan oleh penggunanya.
“Yang terpenting adalah bagaimana teknologi diterima dan dirasakan oleh pengguna,” ujarnya.
Ia menambahkan, sistem pembelajaran berbasis AI harus manusiawi, transparan, adil, dan inklusif, agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata di berbagai kalangan.
Pendekatan ini dianggap penting untuk mencegah munculnya kesenjangan baru di dunia pendidikan, terutama antara kelompok yang memiliki akses tinggi terhadap teknologi dan yang belum.









