AI perkuat mitigasi bencana & pangan berkelanjutan di Indonesia
AI perkuat mitigasi bencana & pangan berkelanjutan di Indonesia

Indonesia, sebagai salah dari tiga negara dengan risiko iklim tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021), menghadapi ancaman serius dari cuaca ekstrem, longsor, dan ketahanan pangan. Namun, di tengah tantangan ini, kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai solusi inovatif. Melalui inisiatif elevAIte Indonesia, Microsoft bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan 22 mitra berkomitmen melatih 1 juta talenta lokal untuk mengoptimalkan AI dalam membangun masa depan berkelanjutan.
Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah—daerah rawan longsor—tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini berbasis AI bernama G-Connect. Dengan memasang 30 sensor tanah bertenaga surya, data pergerakan tanah dikirim ke cloud Microsoft Azure dan divisualisasikan melalui Power BI. Masyarakat diajari membaca grafik risiko di dashboard yang ditempatkan di kantor desa, masjid, hingga sekolah.
“Jika grafik konsisten, tanah aman. Jika berubah, ada risiko longsor. Warga kini bisa memahami sendiri,” ujar Mardhani Riasetiawan, ketua tim G-Connect. Sistem ini menggantikan sirine dengan pemberitahuan via WhatsApp atau pengeras suara masjid, dilengkapi penanda warna (hijau, kuning, merah) di setiap rumah. Uji coba sukses menyelamatkan 15 warga 7 menit sebelum longsor terjadi. Kini, tim UGM berencana mengembangkan model prediksi AI dan chatbot lokal berbahasa Jawa untuk komunikasi yang lebih efektif.
Ester Sinaga, peneliti asal Sumatera Utara yang kini menempuh studi di UC Davis AS, memanfaatkan AI untuk konservasi tanaman pangan. Terinspirasi dari pengalamannya sebagai anak petani, ia menganalisis varietas tahan iklim ekstrem dan peran perempuan dalam pertanian. Tanpa latar belakang IT, Ester belajar coding untuk analisis genomik tanaman.
“AI bukan pengganti peneliti, tapi mitra. Ia mempercepat analisis dan membantu visualisasi data,” jelasnya. Ia membayangkan petani Indonesia bisa mendiagnosis penyakit tanaman via aplikasi AI, menghemat pupuk, dan meningkatkan panen. “AI harus mudah digunakan, bahkan oleh petani non-teknologi,” tegas Ester, yang berharap risetnya bisa diadaptasi di tanah air.
Program elevAIte Indonesia telah melatih 735 ribu peserta dari berbagai latar belakang—pelajar, ASN, petani, hingga komunitas adat. Fokusnya bukan sekadar pelatihan teknis, tetapi bagaimana AI menjawab tantangan lokal. Misalnya, hackathon nasional digelar untuk solusi SDGs, seperti mitigasi iklim dan swasembada pangan.
“Manfaat AI baru terasa jika masyarakat punya keterampilan. Melalui elevAIte, kami pastikan semua orang bisa mengakses AI untuk solusi berkelanjutan,” ujar Arief Suseno, AI National Skills Director Microsoft Indonesia.
Masyarakat diajak bergabung dalam elevAIte Indonesia melalui situs elevaite.id. Program ini membuka peluang bagi siapapun—termasuk aparatur negara dan UMKM—untuk menjadi agen perubahan. Dengan kombinasi ilmu, teknologi, dan partisipasi sosial, AI bukan lagi sekadar alat, tetapi katalisator masa depan tangguh Indonesia.