Terkait revisi Permendag soal Social Commerce, ini kata TikTok
Terkait dengan revisi Permendag terkait Social Commerce, ini tanggapan dari pihak TikTok. Mereka menjelaskan beberapa hal terkait bisnis mereka di Indonesia.
Revisi Permendag No 50 tahun 2020 baru saja diumumkan. Ada tiga hal yang diatur dalam revisi Permendag ini, dimana mengatur keberadaan Social Commerce yang kini sedang ramai di Indonesia.
Dilakukannya revisi ini atas arahan Presiden Joko Widodo, yang dimana mengkhawatirkan para penggiat UMKM yang terimbas dengan keberadaan Social Commerce ini, dimana salah satunya adalah TikTok.
“Revisi Permendag ini dilakukan karena kita tahu itu (Social Commerce) berefek pada UMKM, pada produksi di usaha kecil, usaha mikro, dan juga pada pasar. Ada beberapa pasar sudah mulai anjlok ya, menurun (pejualannya) karena serbuan Social Commerce,” ujar Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan.
Jokowi juga mengatakan para Social Commerce seperti TikTok itu harusnya hanya sosial media saja. Mereka tidak seharusnya menjadi ekonomi media.
- Larangan Penggunaan Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 tahun di Australia Berlaku Pekan Depan, Ini Pemicunya
- Threads Bidik Komunitas Podcaster, Tantang Dominasi X di Ruang Diskusi Digital
- Threads Tambahkan Fitur “Reply Approvals” untuk Kendalikan Balasan yang Muncul di Postingan
- Threads Tembus 150 Juta Pengguna Aktif Harian, Meta Siapkan Ekspansi Iklan Video
Tim Tek.id pun sudah memnta komentar dari TikTok terkait dengan revisi Permendag No 50 tahun 2020 ini. Melalui perwakilan juru bicara TikTok Indonesia, mereka menjawab pertanyaan ini dengan merujuk postingan blog di situs resmi mereka.
Dalam situs tersebut, mereka menyebutkan bahwa yang pertama adalah TikTok Project S tidak pernah ada di Indonesia dan mereka tidak punya rencana untuk menghadirkan Project S di Indonesia.
“Kami tidak memiliki bisnis lintas-batas dan 100% penjual di TikTok Shop memiliki entitas bisnis lokal yang terdaftar dengan nomor induk berusaha (NIB) atau adalah pengusaha mikro lokal dengan verifikasi KTP/paspor,” ujar perwakilan TikTok.
Terkait dengan TikTok Shop, mereka juga memberikan contoh terkait kehadiran aplikasi tersebut di beberapa negara. Di Amerika misalnya, TikTok Shop beroperasi di dalam satu platform yang sama. Begitu juga halnya di Inggris, dimana TIkTok dan TikTok Shop dijalankan dalam satu platform.
Sementara berbicara mengenai izin usaha, TikTok mengaku bahwa mereka sudah mengantongi Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing Bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUP3A Bidang PMSE) dari Kementerian Perdagangan, sebagaimana dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dan soal pembayaran, mereka mengaku bahwa pihaknya tidak memiliki sistem pembayaran dan logistik mandiri di Indonesia.
“Untuk logistik, kami bermitra dengan layanan penyedia jasa logistik seperti J&T, NinjaVan, JNE, dan SiCepat untuk mendukung operasional kami. Untuk sistem pembayaran, kami menerima segala jenis metode pembayaran, termasuk kartu debit/kredit, dompet digital, transfer bank, dan metode pembayaran tunai,” papar perwakilan TikTok.
Soal data pengguna, mereka juga sudah memiliki pandangannya sendiri. Mereka menyebut, perusahaannya tidak mengumpulkan atau menyimpan data asal produk. “Jadi kami tidak memiliki kemampuan untuk memiliki keberpihakan atau memberikan batasan pada produk-produk yang berasal dari lokasi atau negara tertentu.”
Hal lain yang mereka jelaskan adalah mengenai praktik predatory pricing. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak memiliki praktik yang merugikan UMKM lokal.
“Sebagai platform, TikTok tidak dapat menentukan harga produk. Penjual dapat menjual produknya dengan tingkat harga yang mereka tentukan sesuai dengan strategi bisnis mereka masing-masing. Produk yang sama yang dapat ditemukan di TikTok Shop dan platform e-commerce lain memiliki tingkat harga yang serupa,” jelasnya.









