Review Avengers: Endgame, tentang cinta dan hal-hal yang harus selesai

Oleh: Insaf Albert Tarigan Dinda Ayu Widiastuti - Kamis, 25 Apr 2019 02:25 WIB

Avengers: Endgame menjadi film ke-22 dari Marvel Cinematic Universe. Inilah review dari film Avengers: Endgame.

Photo: Film Frame / Marvel Studios

...ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah - (Derai-Derai Cemara, Chairil Anwar)

Kekalahan, penyangkalan disertai air mata, dendam kesumat, pengkhianatan, depresi akut, penyesalan, menyalahkan diri sendiri, pervasif, duka abadi. Bukankah semua itu lebih cocok dan melekat dengan manusia ketimbang pahlawan super?

Tapi itulah kesan yang coba dimunculkan penulis naskah Christopher Markus dan Stephen McFeely serta sutradara "Russo brothers" pada dua jam pertama Avengers: Endgame. Dan mereka berhasil. Kita bisa merasakan aura melankolis para pahlawan super, seperti halnya membaca Derai-Derai Cemara. Melankolis yang muncul karena cinta dan kematian.

Kita pun jadi maklum bahwa durasi film ini sampai 3 jam, seperti kebanyakan film India. Sebab, ada banyak tokoh yang harus diberi ruang untuk memperlihatkan sisi terlemah mereka masing-masing. Dan tentu saja, menarik benang merah dari puluhan film-film Marvel sebelumnya. Kita jadi tahu, misalnya, Thor punya masalah serangan panik, Tony Stark dengan segala bacotnya yang nyebelin ternyata punya rasa tanggung jawab besar, atau Hulk yang narsis.

Untungnya, kita tidak jatuh dalam kebosanan akibat jalan cerita yang bertele-tele. Seperti barista yang andal, Russo bersaudara berhasil menyuguhkan film yang enak: perpaduan antara plot dan kisah personal para tokoh berjalan seimbang.