×
Kanal
    • partner tek.id realme
    • partner tek.id samsung
    • partner tek.id acer
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd

Studi Ungkap Pemimpin Perusahaan Terbelah Menyikapi AI di Tempat Kerja, Mayoritas Skeptis, Sisanya Percaya Diri

Oleh: Tek ID - Sabtu, 27 September 2025 14:42

Riset Adaptavist Group mengungkap 42% pemimpin perusahaan skeptis terhadap AI karena cemas akan risiko etika dan finansial. Sisanya realistis pada adopsi AI.

Studi : Pemimpin Perusahaan Terbelah soal AI di Tempat Kerja AI di tempat kerja. dok. Freepik

Penerapan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI) di tempat kerja kian masif. Namun, alih-alih disambut dengan optimisme seragam, adopsi teknologi ini justru menciptakan dua pandangan berbeda  di kalangan pemimpin perusahaan.

Riset terbaru dari The Adaptavist Group mengungkap adanya perpecahan tajam antara para pimpinan yang percaya penuh pada klaim AI perusahaan dan mereka yang merasa teknologi ini dilebih-lebihkan.

Laporan tersebut mencatat adanya dua kubu, yaitu Skeptis (42% responden) yang merasa klaim AI perusahaan mereka terlalu berlebihan, dan Realis (36% responden) yang yakin bahwa ekspektasi AI yang mereka usung realistis.

Kubu Skeptis

Kelompok skeptis, yang merupakan mayoritas, menunjukkan tingkat kecemasan yang jauh lebih tinggi. Bagi mereka, adopsi AI sering kali disertai rasa tidak nyaman dan khawatir.

Temuan paling mencolok adalah, 65% pemimpin skeptis khawatir pendekatan AI organisasi mereka menempatkan pelanggan pada risiko finansial, psikologis, atau fisik.

Kecemasan pribadi juga menjadi momok. Hampir separuh (42%) dari kelompok ini mengaku menyembunyikan penggunaan AI mereka di tempat kerja karena takut menghadapi konsekuensi atau dituduh menyalahgunakan teknologi tersebut.

Dalam organisasi yang didominasi oleh skeptis, pengeluaran untuk AI tetap tinggi, lebih dari sepertiga (33%) menginvestasikan antara $1 juta hingga $10 juta dalam setahun terakhir. Namun, adopsi didorong oleh kewajiban ketimbang hasil nyata.

Sebanyak 84% pemimpin skeptis mendorong penggunaan AI karena merasa "harus," bukan karena AI benar-benar memberikan nilai terukur. 

Ditambah lagi, mayoritas (59%) responden melaporkan tidak adanya pelatihan AI formal, yang semakin membatasi efektivitas penggunaan.

Kubu Realis

Sebaliknya, para pemimpin yang mengidentifikasi diri sebagai realis jauh lebih percaya diri. Mereka tidak hanya melaporkan tingkat kecemasan yang jauh lebih rendah, tetapi juga melaporkan manfaat yang lebih jelas, termasuk peningkatan kualitas kerja, efisiensi waktu, dan hasil (output) yang lebih baik.

Di organisasi pimpinan realis, praktik eksperimen dan pengukuran hasil diutamakan, didukung oleh pelatihan yang memadai.

Kekhawatiran etika, seperti plagiarisme, bias, atau hallucination (informasi palsu yang dihasilkan AI), juga jauh lebih rendah atau hanya 37% realis yang mencemaskan risiko etika, berbanding 74% dari kubu skeptis.

Mereka juga menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mengoreksi hasil AI, yang mencerminkan panduan dan dukungan internal yang lebih kuat.

Laporan Adaptavist juga menguatkan klaim MIT bahwa 95% uji coba AI generatif gagal, mempertegas bahwa budaya organisasi dan kesiapan manusia adalah kunci sukses. 

Proliferasi alat AI yang begitu cepat justru memperlebar jurang ini, yaitu 74% skeptis merasa kewalahan dengan terlalu banyak tools, sedangkan realis tetap percaya diri dengan nilai tambah AI.

Maraknya alat AI memperburuk jurang pemisah ini. Tujuh puluh empat persen skeptis merasa kewalahan karena terlalu banyak alat AI muncul terlalu cepat. 

Sementara itu, kubu realis tetap yakin pada nilai jangka panjang teknologi ini.

CTO The Adaptavist Group John Mort menegaskan perbedaan antara kedua kelompok ini sangat kontras.

“Kontras antara para pemimpin yang percaya diri dalam perjalanan AI organisasi mereka dan mereka yang bergumul dengan hasil buruk, implementasi tergesa-gesa, dan tenaga kerja yang enggan, sangat mencolok,” ujarnya dikutip dari TechRadar.

Menurutnya, agar AI benar-benar memberi nilai, perusahaan harus berani bereksperimen namun tetap bijak dalam menggelar implementasi. 

“Investasi dalam pelatihan serta penciptaan lingkungan yang mendukung teknologi dan manusia berjalan berdampingan menjadi kunci keberhasilan,” pungkasnya.

×
back to top