Riset : Digitalisasi di Tempat Kerja Berpotensi Picu Stres, Begini Solusinya
Riset Adaptavist ungkap 63% pekerja merasa teknologi kantor justru menambah stres dan kecemasan, bukan meningkatkan
Ilustrasi teknologi di tempat kerja. dok. Freepik
Di tengah transformasi digital yang semakin masif, teknologi di tempat kerja ternyata tidak selalu membawa dampak positif bagi pekerja.
Sebuah laporan terbaru dari Adaptavist mengungkapkan 63% karyawan merasa teknologi justru berdampak negatif terhadap kehidupan mereka sepanjang tahun lalu, mulai dari stres, kecemasan, hingga penurunan motivasi kerja.
Lebih dari seperempat responden (23%) bahkan mencari pekerjaan baru akibat stres yang ditimbulkan oleh sistem digital yang mereka gunakan di kantor.
Sementara itu, 1 dari 20 pekerja mengaku langsung mengundurkan diri karena tekanan dari penggunaan teknologi yang berlebihan.
- TenEleven Gandeng Microsoft di Indonesia, Dorong Transformasi Digital Berbasis AI
- DMMX dan APKESMI Perkuat Digitalisasi Layanan Kesehatan Kabupaten Bekasi
- APJATEL Gandeng PT Pos Indonesia Optimalkan 2.900 Aset untuk Percepatan Transformasi Digital Nasional
- Nawa Data Solutions Tegaskan Komitmen Hadirkan Inovasi Digital untuk Perbankan dan Keuangan
Alih-alih membantu efisiensi, banyak pekerja merasa beban digital di tempat kerja justru semakin berat.
Menurut laporan tersebut, 19% pekerja merasa tertekan untuk selalu online di luar jam kerja, sementara 19% lainnya merasa terisolasi akibat komunikasi digital yang terlalu intens.
Lebih parah lagi, 29% responden mengaku sering khawatir soal salah paham dalam komunikasi online, dan 41% mengalami stres atau kecemasan akibat banjir notifikasi dari berbagai aplikasi kerja.
Akibatnya, 12% pekerja di seluruh dunia harus mengambil cuti sakit karena stres yang dipicu oleh teknologi kantor.
Menariknya, sebagian besar pekerja tidak menginginkan pengurangan jumlah alat digital.
Hanya 16% yang berharap lebih sedikit tools, sementara 41% menginginkan pelatihan lebih baik dan 45% berharap adanya sumber belajar tambahan agar mereka bisa beradaptasi dengan teknologi yang digunakan.
Laporan Adaptavist juga menyoroti 23% pekerja merasa stres karena kurangnya dukungan dalam penggunaan alat digital baru.
Artinya, akar masalahnya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan kurangnya pemahaman dan pelatihan dari perusahaan.
Innovation Lead Adaptavist Group Neal Riley menegaskan perusahaan yang sukses menghindari burnout dan penurunan motivasi tidak hanya fokus pada alat yang digunakan, tetapi juga pada aspek manusianya.
“Perusahaan perlu menciptakan budaya yang mendukung adopsi teknologi dengan memperhatikan otonomi pekerja dan keseimbangan psikologis mereka,” ujar Riley, dikutip dari TechRadar.
Adaptavist juga menemukan, sejak 1990-an, terjadi penurunan tingkat ‘task discretion’, atau kebebasan pekerja dalam mengatur cara mereka bekerja, terutama di Inggris.
Akibatnya, 18% pekerja kini merasa tertekan untuk membuktikan produktivitas melalui metrik dan sistem penilaian yang sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi kerja modern.
Riley pun mengingatkan pentingnya budaya kerja yang berfokus pada manusia, bukan semata angka produktivitas.
Dengan demikian, perusahaan dapat memperpanjang usia produktif karyawan sekaligus menjaga kesehatan mental di era digital.
Temuan Adaptavist menjadi pengingat bahwa digitalisasi tanpa keseimbangan justru berisiko menciptakan generasi pekerja yang lelah secara mental.
Alih-alih memperbanyak aplikasi atau alat kerja baru, perusahaan perlu berinvestasi pada pelatihan, komunikasi, dan empati digital, agar teknologi benar-benar menjadi alat bantu, bukan sumber tekanan.









