sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id telkomsel
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id samsung

Menyongsong 5G di Indonesia, realitas di balik euforia

Euforia 5G di Indonesia menyisakan satu pertanyaan: kapan pemerintah menggusur konglomerat yang masih menguasai frekuensi ideal jaringan itu?

Menyongsong 5G di Indonesia, realitas di balik euforia

Uji coba jaringan 5G oleh operator telekomunikasi, sepanjang 2019, menimbulkan euforia di masyarakat. Tak bisa dimungkiri, ketika sudah beroperasi secara penuh, 5G memang punya potensi mengubah tak hanya bisnis, tetapi juga jalannya pemerintahan. Namun, mencari tahu apa sebenarnya dampak 5G bagi sektor perdagangan, perkotaan, dan masyarakat itu sendiri, tak semudah membaca hasil riset lembaga-lembaga global yang sudah banyak dikutip media kita.

Antusiasme media membahas persoalan ini juga seringkali melupakan satu pertanyaan penting: kapan pemerintah akan menggusur konglomerat yang masih menguasai salah satu atau beberapa frekuensi ideal untuk 5G?

Padahal, kita tahu, tahun depan, beberapa negara besar, seperti Amerika, Jepang, Korea Selatan akan melakukan ekspansi 5G komersial secara besar-besaran. Bagaimana dengan Indonesia? Apa sebenarnya kendala utama kita mengimplementasikan 5G?

Menjelang akhir ahun 2019 ini, kami menyajikan artikel fokus mengenai 5G untuk Anda. Ini adalah tulisan perdana, dan sisanya akan kami terbitkan hingga pekan depan. Selamat membaca.

Apa itu 5G?

Sudah banyak yang menulis bahwa 5G akan merevolusi banyak hal, dari industri sampai pemerintahan. Tapi, apa sebetulnya dampaknya bagi Anda selaku konsumen biasa? Apakah  5G berarti Anda haru mengganti ponsel? Berganti layanan seluler? Berlangganan paket data baru?

Jawabannya adalah ya dan tidak. Tentu, Anda tak perlu beralih ke layanan operator lain jika implementasi 5G berlangsung secara serentak oleh seluruh operator. Sebelum kita beranjak lebih jauh, perlu Anda ingat bahwa lebih dari sekadar menyajikan kecepatan internet berlipat ganda, potensi 5G terbesar justru pada kemampuannya untuk menciptakan ekosistem digital baru yang disebut Internet of Things (IoT).

Ekosistem ini merupakan cara baru berkomunikasi antara perangkat yang satu dengan perangkat lainnya. Bukan smartphone ke smartphone semata, namun juga ke semua perangkat yang mampu menerima sinyal gelombang radio. Kiva Allgood, Head of IoT Ericsson dalam laporannya (6/12/2019) mengatakan, sampai akhir 2019 nanti, jumlah konektivitas perangkat IoT ini mencapai 1,3 miliar.

Seperti halnya 4G LTE yang membawa kita ke gerbang ekonomi digital, 5G menjanjikan revolusi industri 4.0 yang sering kita dengar dari pidato Presiden Jokowi.

Lantas, seberapa cepat dan seberapa luas jangkauan jaringan 5G ini? Secara teoritis, kecepatan 5G akan dibagi menjadi tiga kategori, tergantung dengan frekuensi mana yang digunakan.

Misalnya, satu menara pita rendah, yakni di frekuensi 600-700MHz dapat mencakup radius hingga 1.000 mil (sekitar 1.650 Km). Hanya saja, kecepatan yang pengguna dapatkan berkisar 30-250 megabit per detik (Mbps).

Di sisi lain, untuk sebuah menara mid band, yakni berada di kisaran frekuensi 2.5 / 3.5GHz mampu mencakup radius beberapa Km saja.Tapi, kecepatan internet yang ditawarkannya mencapai 100-900Mbps.

Sementara untuk menara band tinggi, yakni yang berada di kisaran frekuensi 24-39GHz mencakup radius 1 mil (sekitar 1,6Km). Meski demikian, frekuensi ini dapat menghasilkan kecepatan super tinggi hingga di kisaran 1-3Gbps, dengan latensi yang sangat rendah.

Di sisi lain, guna menyamaratakan kecepatan internet 5G secara internasional, GSM Association (GSMA), asosiasi global operator telekomunikasi, sudah mengeluarkan standardisasi mengenai kecepatan 5G. Mereka menyebut, kecepatan maksimal 5G hingga 20GBps, lalu kecepatan rata-rata di angka 100Mbps.

Klaim ini pun sejalan dengan hasil pengetesan lapangan yang sudah dilakukan beberapa operator, baik secara internasional maupun di dalam negeri. Di Indonesia, misalnya, beberapa operator seperti, Telkomsel, Smartfren, XL, dan Tri sudah melakukan pengujian tahun ini. Indosat sendiri melakukan uji coba terakhir pada 2018 silam.

Uji coba 5G operator telekomunikasi indonesia

Kecepatan 5G meningkat sangat drastis dibandingkan 4G. Kecepatan tertinggi yang bisa dicapai jaringan 4G adalah 300Mbps - 1Gbps. Kecepatan rata-ratanya di angka 15-50Mbps.

kecepatan 2G-5G

Latensi (atau sering disebut ping) juga jadi poin penting pada jaringan 5G. Dalam pengujian semua operator Indonesia, latensi rata-rata di 11ms. Sementara operator di internasional memiliki latensi di bawah 10ms.

Angka tersebut mendekati standardisasi internasional oleh GSMA. Rata-rata latensi jaringan 5G ada di angka 10ms, dengan latensi paling rendah ada di angka 1ms, bahkan bisa hampir mencapai 0ms.

Lalu, apa yang akan dapat ditawarkan jaringan ini, baik bagi para operator dan pengguna pada umumnya? Untuk para operator, mereka akan dapat menyediakan layanan baru, bukan hanya untuk pelanggan konvensional saja, tapi juga kepada manufaktur dan pelanggan dari kalangan industri lainnya.

Latensi rendah juga merangsang banyak teknologi baru yang akan bermunculan. Bukan hanya di manufaktur, namun di berbagai bidang, seperti kesehatan, pertanian, dan lainnya akan banyak bermunculan solusi-solusi digital yang lebih nyata.

Industri otomotif pun bisa mewujudkan kendaraan otonom (tanpa supir) berkat potensi latensi rendah dan kecepatan internet tinggi 5G. Ada juga kesempatan bagi para operator untuk memasuki wilayah terpencil yang selama ini sulit mereka jamah. 5G memungkinkan operator untuk meningkatkan penetrasi internet home broadband.

Dampaknya bagi pengguna biasa juga akan nyata. Para gamer akan dapat menikmati pengalaman gim Virtual Reality yang lebih asyik. Pengalaman menonton video streaming beresolusi sangat tinggi juga makin nyaman dan mudah. 

Kehadiran teknologi 5G sendiri tidak akan serta merta menghilangkan 4G. Keduanya akan bersinergi. Dalam laporan Cnet, beberapa operator besar di Amerika mengatakan bahwa 5G akan berjalan di atas jaringan 4G.

Mereka mengaku hal ini baru pertama kali terjadi di sebuah jaringan seluler. Sebagai contoh, pada saat jaringan 4G muncul, jaringan 3G dan 2G harus mengalah. Hal ini dialami Smartfren di Indonesia, yang harus merelakan jaringan CDMA demi 4G.

“Pada saat (dulu) kita beralih dari CDMA ke 4G LTE, kita mengalihkan semua frekuensi kita ke 4G. Jadi, kini sekarang kita hanya memiliki jaringan 4G. Tapi, nanti saat 5G hadir, karena akan menggunakan spektrum baru, jadi akan berkesinambungan,’’ kata Deputy CEO Mobility Smartfren, Sukaca Purwokardjono.

Koneksi 2G, 3G dan 4G juga tidak dapat berbagi spektrum yang sama. Mereka masing-masing membutuhkan jalur khusus untuk memberikan layanan yang terbaik. 5G berbeda dari empat generasi jaringan seluler sebelumnya. 5G memiliki teknologi spektrum dinamis, atau yang disebut DSS (Dynamic Spectrum Sharing) yang memungkinkan operator menggunakan pita spektrum yang sama untuk 4G dan 5G. DSS seperti memiliki satu jalan raya besar dengan jalur terpisah untuk 4G dan 5G. Pembaruan perangkat lunak dapat dengan cepat mengubah jaringan 4G LTE saat ini menjadi 5G.

Ada juga teknologi bernama carrier aggregation. Ini adalah teknologi yang memungkinkan para operator seluler dapat mengawinkan kedua frekuensi tersebut, guna membuat jalan raya multi-lajur dengan batas kecepatan yang lebih cepat.

Frekuensi 5G di Indonesia dan posisi para konglomerat

Sama seperti jaringan seluler lainnya, jaringan 5G menggunakan sistem cell site yang membagi wilayah penyebaran frekuensinya menjadi sektor-sektor, dan mengirim data yang disandikan melalui gelombang radio.

Pada dasarnya, ada dua komponen utama dalam sistem teknologi nirkabel 5G yaitu, Radio Access Network dan Core Network. Radio Access Network (Jaringan Akses Radio) memiliki tugas untuk mencakup 5G Small Cell dan Macro Cell yang membentuk inti dari 5G serta sistem yang menghubungkan perangkat seluler ke Core Network (Jaringan Inti).

5G Small Cells terletak di sektor besar karena spektrum milimeter Wave (mmWave) hanya dapat melakukan perjalanan jarak pendek. Sel Kecil ini melengkapi Macro Cell yang digunakan untuk menyediakan cakupan area yang lebih luas.

Macro Cell menggunakan antena MIMO (Multiple Input, Multiple Output) yang memiliki banyak koneksi untuk mengirim dan menerima data dalam jumlah besar secara bersamaan. Ini berarti akan semakin banyak pengguna dapat terhubung ke jaringan secara bersamaan.

Sementara Core Network memiliki tugas untuk mengelola semua data dan koneksi internet untuk jaringan 5G. Keuntungan besar dari Jaringan Inti 5G adalah dapat berintegrasi dengan internet lebih efisien dan juga menyediakan layanan tambahan seperti layanan berbasis cloud, server terdistribusi yang akhirnya meningkatkan responsivitas sambungan ke internet.

Dengan gelombang udara yang sama dengan 4G, sistem radio 5G bisa mendapatkan kecepatan sekitar 30 persen lebih banyak berkat pengkodean yang lebih efisien. Jadi, bila saluran 4G sebanyak 20MHz - 160MHz sekaligus, 5G menggunakan 100MHz - 800MHz sekaligus

Untuk mendapatkan optimasi jaringan 5G, para operator bisa memilih tiga rentang frekuensi, yakni frekuensi Sub-1 GHz, 1-6 GHz, serta di atas 6 GHz, yang disebut sebagai mmWave. Ketiganya memiliki kemampuan berbeda.

Sub-1 GHz dibutuhkan untuk mendukung jangkauan luas di perkotaan, pinggiran kota, dan daerah pedesaan dan membantu mendukung Internet of Things (IoT). Pasalnya, frekuensi ini dapat menembus dinding tebal yang biasanya ada di perkotaan besar.

Untuk mendapatkan optimasi jaringan 5G, para operator bisa memilih tiga rentang frekuensi, yakni frekuensi Sub-1 GHz, 1-6 GHz, serta di atas 6 GHz

Di rentang 1-6 GHz menawarkan campuran jangkauan dan kapasitas yang baik. GSM Association (GSMA), asosiasi operator telekomunikasi dunia, menyarankan agar pada awal penerapannya nanti, 5G dapat berjalan di rentang spektrum 3,3-3,8 GHz.

Di sisi lain, frekuensi di atas 6 GHz diperlukan untuk memenuhi broadband ultra-tinggi, yang senantiasa menyediakan kecepatan tinggi. Saat ini, frekuensi optimal yang disarankan GSMA ada di 26 GHz dan / atau 28 GHz.

Namun kelemahan dari mmWave adalah jaringan tersebut tidak dapat menembus benda padat. Oleh karenanya, 5G membutuhkan beberapa frekuensi yang berbeda untuk dapat berjalan dengan baik.

World Radiocommunication Conference 2019 (WRC-19), sebuah konferensi yang mempertemukan regulator telekomunikasi dunia yang diadakan 3-4 tahun sekali, menyetujui beberapa frekuensi yang dapat digunakan untuk menjalankan jaringan 5G.

Frekuensi 5G menurut kesepakatan di WRC-2019

Dengan ditambahkannya rentang frekuensi tersebut, ketersediaan bandwidth untuk 5G totalnya selebar 17,25 GHz. Padahal, sebelumnya alokasi bandwidth 5G hanya selebar 1,9GHz saja. Ini menjadikan harmonisasi global penggunaan 5G meningkat hingga 85 persen.

Lalu, apakah Indonesia akan mengikuti standarisasi internasional? Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo, DR. IR. Ismail MT mengatakan bahwa Indonesia memiliki calon frekuensi tersendiri.

Meski sudah ada ketersediaan dan calon frekuensi untuk menggelar 5G, kita tak bisa segera menggelar 5G di Indonesia. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyebut, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Frekuensi radio termasuk salah satu sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak karena sumber daya ini tak terbarukan. Oleh karenanya, negara wajib mengatur semua penyelenggaraan terkait frekuensi.

Penggunaan frekuensi radio saat ini sudah ditempati banyak bidang lain. Selain itu, meski pita frekuensi di atas 6GHz masih sedikit yang menggunakannya, bukan berarti dapat seenaknya digunakan untuk 5G.

Aloksai frekuensi radio di Indonesia

Pengamat Telekomunikasi, IT, dan Ekonomi Digital, Heru Sutadi mengatakan, di Indonesia saat ini frekuensi di 3,5 GHz digunakan untuk satelit. Frekuensi 2,5GHz juga digunakan satelit milik PT Media Citra Indostar (MCI).

“Menggunakan frekuensi menengah juga sedikit sulit. Yang bebas ada di 2,3GHz milik Jasnita dan First Media (yang izinnya dicabut pemerintah). Di frekuensi bawah pun masih dipakai oleh beberapa pihak,” kata Heru.

Lantas, bagaimana dengan frekuensi rendah?

“Perlu diingat, 30 MHz (kontraknya) dipegang Telkomsel dan Smartfren. Bisa juga (memanfaatkan) 700 MHz, (tapi) ini pun juga migrasinya belum tuntas. Inilah tantangan pertama kita, frekuensinya yang mana?” katanya.

Berikut gambaran peta frekuensi mobile broadband dan satelit di Indonesia. Anda bisa melihat, Indovision, kelompok usaha milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo masih menguasai salah satu frekuensi paling potensial untuk 5G. Apakah pemerintah berani memutus kontraknya lebih awal? Dan kemana kelompok ini akan dipindahkan?

Kontrak kelola frekuensi radio di Indonesia

Tantangan lain untuk memboyong 5G ke Indonesia pun masih banyak. Infrastruktur dan investasi menjadi dua hal yang kini membuat operator masih enggan melirik 5G dalam waktu dekat. Kita akan membahasnya dalam artikel kedua. Simak terus tek.id.

Share
×
tekid
back to top