sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id telkomsel
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id realme
Jumat, 06 Mar 2020 11:44 WIB

Review A Rainy Day In New York: romantisme hujan dan ciuman basah

Menyaksikan A Rainy Day in New York, Woody Allen kembali memilih hujan sebagai metafora untuk romantis.

Review A Rainy Day In New York: romantisme hujan dan ciuman basah
Gatsby dan Chan bertemu secara tak sengaja saat membantu proyek film teman sekolah mereka.

Kadang-kadang, sulit nian menjelaskan hal-hal sederhana jika kita sedang jatuh cinta. Mengapa, misalnya, menikmati kopi di cafe sambil ngobrol hal-hal tak penting, jadi terasa sangat indah. Apa bagusnya kehujanan bersama di sebuah kota? Kenapa langit senja membuat dada sesak dengan angin kebahagiaan?

Tengoklah bagaimana Goenawan Mohamad (1971) memotretnya dalam sajak berikut ini:

 

Dingin tak tercatat

pada termometer

 

Kota hanya basah

 

Angin sepanjang sungai

mengusir, tapi kita tetap saja

 

di sana. Seakan-akan

 

gerimis raib

dan cahaya berenang

 

mempermainkan warna.

 

Tuhan, kenapa kita bisa

bahagia?


 

Ya, kenapa kita bisa bahagia? Kenapa kita selalu menemukan topik kecil yang bikin kita terpingkal-pingkal jika bersama?

Menyaksikan A Rainy Day in New York, Woody Allen kembali memilih hujan sebagai metafora untuk romantis. Film yang dirilis tahun 2019 ini seketika mengingatkan kita pada Midnight in Paris, karya Allen yang dirilis tahun 2011. Dalam satu dialog, Gil (diperankan Owen Wilson) bertanya kepada Inez (dimainkan Rachel McAdams)

Gil: “Bisakah kau bayangkan betapa indahnya kota ini di tengah hujan? Bayangkan kota ini di tahun 20-an. Paris di tahun 20-an, di tengah hujan. Para seniman dan penulis!”

Inez: “Mengapa tiap kota harus di tengah hujan? Apa bagusnya menjadi basah?”

 

Gil terjebak dalam nostalgia. Kita sebagai penonton pun dibawa ke nostalgia. Padahal, seperti kata Paul (Michael Seen) dalam film itu, “Nostalgia adalah penyangkalan, penyangkalan atas masa kini yang menyakitkan.”

A Rainy Day in New York sebenarnya sangat menjanjikan jika kita melihat para pemerannya: Jude Law, Timothée Chalamet, Elle Fanning dan Selena Gomez. Cerita bermula ketika Gatsby Welles (Chalamet) mengantar pacarnya, Ashleigh Enright (Faning), ke New York untuk mewawancarai sutradara film, Roland Pollard (Liev Schreiber). Ashleigh bekerja untuk koran terbitan kampus. Berlatar belakang keluarga kaya raya, Ashleigh dan Gatsby sama-sama kuliah di Yardley College.

Gatsby dan Chan bertemu tak sengaja saat naik ke taksi yang sama.

Cerita dan konflik kemudian berkembang ketika keduanya sudah sampai di New York. Ashleigh sangat antusias bertemu Pollard yang bersedia meluangkan waktu wawancara selama 1 jam. Tak dinyana, Pollard malah curhat soal kehidupan pribadinya. Dia bilang, mantan istrinya bernama Ashley, mirip dengan Ashleigh. Dia juga mengaku bosan, dan tak menyukai hasil penyuntingan film terbarunya. Kemudian, dia mengajak Ashleigh menyaksikan sendiri hasil editing terakhir film tersebut. Dari sinilah, Ashleigh yang diperankan amat baik oleh Fanning kemudian berkenalan dengan orang-orang di sekitar Pollard, termasuk para seniman sohor. 

Saking antusiasnya, Ashleigh memilih untuk menunda nongkrong dengan sang pacar dan memilih makan malam, minum wine, dan merokok ganja dengan orang di sekitar Pollard, termasuk bintang film, Fransisco Vega. Dia bahkan hampir bercinta dengan Vega dalam keadaan tipsy.

Sementara itu, Gatsby yang sudah mengatur jadwal makan malam sembari mendengar musik jazz klasik dengan sang pacar, membunuh waktu dengan menemui teman-teman sekolahnya. Dari salah satu pertemuan inilah, dia bersua lagi dengan Chan Tyrell (Selena Gomez) yang tak lain adalah adik mantan pacarnya. Janji Ashleigh yang tinggal janji, membuat Gatsby seperti terdampar sendirian di New York yang kerap diguyur hujan. Di sisi lain, ini juga memberinya kesempatan untuk mengenal Chan lebih dalam setelah keduanya secara tak sengaja bertemu lagi saat mereka masuk ke taksi yang sama.

Penampilan Chalamet layak mendapat pujian. Gomez terlihat sangat natural di depan kamera. Fanning juga berhasil menghidupkan sosok anak orang kaya, antusias, dan sering cegukan ketika grogi. Seperti dalam film komedi romantis Allen sebelumnya, karakter tokoh utama dalam A Rainy Day in New York terlihat seperti anakronistik. Bayangkan, Gatsby yang memakai iPhone untuk berkomunikasi dengan Ashleigh, dicitrakan sangat kutu buku --terutama literatur sastra klasik--, dipaksa ibunya belajar piano klasik.

Gatsby dan Ashleigh kuliah di tempat yang sama

Hal ini pula yang kemudian memunculkan kritik dari beberapa jurnalis yang mengulas film tersebut. Mereka menyebut, Allen ketinggalan zaman, dan tak memahami dunia anak muda sekarang ini. Seperti Gil, Gatsby seperti hidup di era yang salah. Oleh karena itu, saat diminta menceritakan pacarnya, Ashleigh menjuluki Gatsby sebagai “Quaint”. 

Tentu, kritik itu sah-sah saja. Tapi, bukankah film tak harus mencerminkan realitas saat ini?

Saya secara pribadi cukup bisa menikmati A Rainy Day in New York. Walaupun --dalam arti yang baik-- sepanjang film, saya tak henti-hentinya berkata dalam hati, “Ini mirip dengan Midnight in Paris, itu kayak Vicky Christina Barcelona, oh kalau ini seperti Café Society.” 

Salah satu adegan yang mengingatkan saya pada Vicky Christina Barcelona, misalnya, saat Ashleigh mengingatkan dirinya sendiri agar sadar bahwa Vega jelas-jelas akan mengajaknya bercinta. Bukannya menjauh, dia malah mengisap ganja, lagi dan lagi, kemudian secara sukarela melucuti pakaiannya.

Kolaborasi Allen dengan sinematografer Vittorio Storaro kembali menampilkan warna khas, kuning keemasan yang cocok untuk mewakili romantis dan nostalgia. Nuansa itu, misalnya, sangat terasa ketika Gatsby bermain piano di rumah Chan. 

Menurut saya, film ini sangat cocok untuk ditonton bersama pasangan sembari menikmati akhir pekan yang basah. Seperti kata Ashleigh dalam satu adegan, film ini membuat kita ingin mencium pasangan tanpa alasan.

Sayang sekali, A Rainy Day in New York hanya tayang terbatas di bioskop Eropa. Saat film ini dirilis, Amazon Studios selaku distributor, membatalkan distribusinya karena Amerika Serikat, saat itu, diguncang gerakan Mee Too. Seperti kita tahu, Allen sejak lama dituduh terlibat kekerasan seksual terhadap anak tirinya, Dylan Farrow.

Dan yang tak kalah tragis, film ini sulit ditemukan di layanan streaming legal, seperti Netflix. Saya terpaksa menontonnya di layanan streaming bajakan, tanpa bermaksud mempromosikannya kepada Anda.

Share
×
tekid
back to top