Segera diblokir Donald Trump, nasib TikTok di AS berada di ujung tanduk

Oleh: Hieronimus Patardo - Sabtu, 01 Agst 2020 10:59 WIB

Hampir semua anak muda pasti tahu aplikasi TikTok. Aplikasi ini bisa dibilang sedang dalam masa kritis untuk menghadapi ancaman blokir di AS.

Keberadaan TikTok pada akhirnya membuat gerah pemerintahan Trump. Sebelumnya Presiden AS itu mengharuskan TikTok menjual sebagian perusahaannya pada perusahaan asal AS. Namun kabar terbaru menyebutkan kalau Trump akan memblokir aplikasi ini untuk dapat beroperasi di AS. Padahal, Microsoft sudah berniat membeli TikTok dan sedang dalam tahap negosiasi untuk itu. 

Ini bakal menjadi pemblokiran kedua yang diterima TikTok. Di India, aplikasi ini sudah dilarang digunakan. Pemblokiran itu merupakan buntut dari permasalahan konflik perbatasan dengan Tiongkok. Tidak hanya itu, pengawasan yang dilakukan AS sampai saat ini juga menjadi pertimbangan pemblokiran itu. 

Sebagaimana diketahui, AS dan Tiongkok sampai saat ini masih terlibat dalam lingkaran konflik diplomatik yang berkepanjangan terkait isu teknologi dan perdagangan. Dengan statusnya sebagai aplikasi yang dimiliki perusahaan asal Tiongkok, TikTok disebut memiliki potensi menjadi ancaman keamanan nasional. Padahal, TikTok sejatinya merupakan aplikasi yang awalnya dikembangkan perusahaan asal AS. Ya, ByteDance membeli sebuah aplikasi bernama Musical.ly pada 2017 yang kemudian diubah menjadi TikTok. Sejak saat itu, aplikasi mendapat perhatian pemerintah AS. 

Sampai saat ini, TikTok sudah digunakan oleh lebih dari 800 juta pengguna di seluruh dunia. Ibaratnya, hampir tidak ada anak muda yang tidak tahu aplikasi ini. Video yang sudah dibuat di TikTok juga dapat dengan mudah dibagikan ke Facebook atau Twitter. 

Popularitas TikTok terus meningkat. Perusahaan ini bahkan menapakkan kaki makin kuat di AS dengan mendirikan kantor di New York dan Los Angeles. Perusahaan ini juga diketahui merekrut mantan eksekutif Disney, yakni Kevin Mayer untuk menduduki posisi top di TikTok AS. Ini dilakukan untuk mengurangi tuduhan adanya potensi untuk menjadi ancaman keamanan nasional AS.