Tahun 2018 dan 2019, hoaks akan merajalela di media sosial

Oleh: Lalu Ahmad Hamdani - Jumat, 29 Des 2017 13:38 WIB

2018 dan 2019 adalah tahun pemilu. Pilkada serentak dan Pilpres menjadi puncak peredaran hoaks di Indonesia. Bagaimana upaya kita?

Pilkada Jakarta 2017 telah berakhir. Kendati demikian, peristiwan biasa itu jadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Dari situ kita bisa berkaca, bagaimana hoaks menjadi bumbu “pedas” pada Pilkada DKI 2017. Khairul Ashar, pendiri situs Turn Back Hoax, dalam laporan BBC Indonesia (18/4) menyebutkan, tiga bulan sebelum puncak Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin, ada lebih dari 1.900 laporan dugaan hoaks yang masuk ke situsnya.

Tahun 2018 dan 2019, Indonesia akan menggelar pemilihan umum (Pilkada dan Pilpres). Artinya, dua tahun berturut-turut potensi hoaks seputar Pilkada dan Pilpres ini akan menjadi makanan sehari-hari warganet. Arief Suditomo, Komisi I DPR RI, dalam pernyataannya di Antara (27/11), memperkirakan penyeberan hoaks melalui media sosial makin masif dalam periode ini.

Informasi hoaks sendiri sangat berpengaruh bagi hasil Pemilu. Berkaca pada Pilpres Presiden Amerika, intervesi asing lewat media sosial macam Facebook menjadi skandal yang berlarut-larut hingga kini. Oleh karena itu, pada Rabu (27/9), Mark Zuckerberg, pendiri Facebook menulis penyesalannya yang meremehkan pengaruh Facebook di tengah arus informasi seputar Pilpres Amerika.

Fenomena yang terjadi di Indonesia, khususnya pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017, adalah adanya polarisasi kelompok-kelompok politik. Barisan pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebut pemilih Anies-Sandi sebagai “JKT58”. Sementara pemilih Anies menyebut pendukung Ahok sebagai “Cebongers”. Hingga Pilkada DKI Jakarta berakhir, kedua kubu tetap baku sindir di media sosial.