Musuh Xbox bukan lagi PlayStation, tapi Stadia

Oleh: Lalu Ahmad Hamdani Nur Chandra Laksana - Senin, 10 Jun 2019 09:06 WIB

Enam tahun lalu, Microsoft menawarkan konsep mirip Google Stadia. Namun tampakanya ide mereka belum bisa sepenuhnya diterima waktu itu.

Pada E3 2013, Microsoft pernah tersandung ketika menghargai tinggi dan mencoba membangun ekosistem yang kompleks pada konsol Xbox One. Di atas semua itu, para eksekutif Microsoft berulang kali menampik kekhawatiran para penggemar. Ketika Phil Spencer, yang saat itu menjadi kepala Microsoft Studios, mengumumkan harga USD500 (Rp7,1 juta) untuk Xbox One, audiens E3 2013 tersentak dan terdiam.

Beberapa jam kemudian, Sony naik panggung. Eksekutif menghadirkan konsol baru mereka, PlayStation 4, sebagai pesaing untuk Xbox One. Playstasion 4 itu tidak membutuhkan koneksi internet untuk aktif, game pun tidak akan terikat ke akun online. Ini memudahkan pemain berbagi game lewat cakram fisik. Bos PlayStation, Jack Tretton mengumumkan harga PS4 USD400 (Rp5,6 juta) dan sorak-sorai meledak di seluruh lokasi pagelaran E3 2013.

Satu minggu setelah E3, Microsoft membalikkan rencananya untuk Xbox One. Mereka mengubah kebijakan DRM-nya, membatalkan visi online-nya, dan meluncurkan konsol yang beroperasi hampir sama persis seperti PS4.

Sejujurnya, kalau melihat kembali rencana asli Microsoft untuk Xbox One, apa yang mereka ikhtiarkan sangat masuk akal. Game terbesar hari ini adalah pengalaman bermain secara online. Pembelian online telah melampaui penjualan cakram fisik sejak 2013, dan tahun lalu, 83 persen dari semua penjualan game adalah digital, menurut data dari Statista. 

Microsoft pun telah mendapatkan kembali dukungan dari penggemar mereka lewat layanan berlangganan Xbox Game Pass, dan kesediaannya membuka keran lintas platform. Microsoft bahkan meluncurkan versi digital sepenuhnya dari Xbox One S pada bulan Maret lalu.