Green Book, film terbaik Oscar yang tidak jenuh ditonton

Oleh: Lalu Ahmad Hamdani - Jumat, 15 Mar 2019 08:00 WIB

Sejarah diskriminasi rasial Amerika sangat getir. Namun kisah Green Book membawa kehangatan di tengah diskriminasi yang pekat era 1960-an.

Kisah-kisah perjalanan yang diangkat film selalu memberi kejutan. Itulah heroinnya. Saat perjalanan mengubah perspektif setiap karakter di dalamnya, selalu bisa menggugah penonton. Saya pun selalu puas dengan kisah-kisah semacam ini. Begitu juga dengan kisah Green Book (2018) yang dinobatkan sebagai film terbaik Oscar tahun ini.

Judul Green Book sendiri diambil dari sebuah buku, The Negro Motorist Green Book. Sebuah panduan perjalanan bagi ras Afrika-Amerika yang ditulis oleh Victor Hugo Green di 1936. Buku bersampul hijau ini merupakan kitab bagi pejalan Afrika-Amerika untuk menemukan rute paling aman di kota-kota paling diskriminatif di selatan Amerika. Perlu Anda ketahui, saat buku ini pertama kali terbit, politik dan hukum Amerika sangat diskriminatif terhadap ras Afrika-Amerika.

Kemudian, pada 1962, Tony “Lip” Vallelonga, staf keamanan di klub malam Copacabana harus menganggur sementara. Pasalnya klub malam tempatnya bekerja sedang masa renovasi. Kehidupannya yang pas-pasan sebagai warga New York berdarah Italia, memaksanya menerima pekerjaan yang kurang menyenangkan baginya.

Tony Lip harus menjadi supir sekaligus body guad paruh waktu bagi seorang pianis eksentrik berdarah Afrika-Amerika, Don Shirley. Tony sendiri pada dasarnya tidak terlalu suka dengan orang kulit hitam. Tony merupakan produk zaman dan lingkungannya yang diskriminatif. Ia bahkan tidak mau meminum air dari gelas yang sama dengan orang kulit hitam. Ia memilih untuk membuang gelas itu ke kantong sampah.