Alasan Putra Nababan konsisten tak mau debat di media sosial
Putra Nababan bicara soal karakter warganet yang kehilangan konteks. Ini memicu perdebatan di antara warganet.
Kalau kamu pernah menonton siaran Seputar Indonesia di RCTI dari 2005-2012, kamu pasti mengenal wajah Putra Nababan. Jurnalis senior ini cukup kondang di awal 2000-an. Sapaan khasnya, Salam Hangat, menjadi ikon.
Sebagai salah satu jurnalis yang kenyang pengalaman, baik di jurnalisme televisi, cetak, radio maupun digital, Putra Nababan punya pandangan mengenai persoalan-persoalan di ranah digital akhir-akhir ini. Founder sekaligus COO IDtalent itu kami temui acara SiBerkreasi Netizen Fair 2017. Dia tidak henti-hentinya berbagi kepada pemuda Indonesia mengenai literasi digital yang berkiblat pada etika ketimuran kita.
"Kita terlalu banyak baca teks. Tapi tahu tidak apa yang kita kehilangan saat ini? Kita kehilangan konteks. Kalian tahu tidak, kenapa sekarang banyak orang marah-marah? Ya, karena banyak orang tidak mengerti konteksnya," ujar Putra Nababan penuh semangat.
"Kalau saya betul-betul menjalani secara konsisten, tidak mau berdebat di media sosial. Orang akan kehilangan konteks dengan teks pendek-pendek itu. Perdebatan di sana juga cenderung bergaya emosional."
Menyinggung soal kebebasan berpendapat di media sosial, Putra sependapat dengan internet yang memberikan kebebasan berpendapat. "Memang bebas menyuarakan pendapat, tapi harus mengedepankan budaya kita. Saya sering berkunjung ke kampus-kampus, mereka tanya sama saya, bagaimana kita berperilaku yang tepat di media sosial. Saya jawab, berperilakulah seperti apa yang orangtua kamu ajarkan di rumah. Berani tidak kamu print screen postingan kamu, kemudian kamu tunjukkan ke bapak ibu kamu. Bisa jadi kamu malu, atau malah bisa dijewer. Jadi, jangan berprilaku dualisme. Di sosial media tidak berperilaku sesuai budaya kita. Tapi di rumah, di keluarga, budayanya sopan. Hal-hal seperti ini yang harus kita ingatkan lagi."
Putra melanjutkan, "Ini yang terus saya sampaikan di kampus-kampus, biasanya pada pemuda-pemuda umur 20 tahun, 19 tahun, bahkan 16-17 tahun. Tanpa karakter, kita menjadi orang yang tidak jelas."
"Gerakan SiBerkreasi ini juga mempromosikan agar kita tidak mudah tersulut, dengan beberapa tahap. Contohnya, kita diajak untuk klarifikasi, membandingkan, kita juga punya kewajiban untuk menyuarakan hal yang benar. Saya selalu mengajak pemuda-pemuda untuk jangan takut menyuarakan hal yang benar. Jangan takut menyuarakan hal yang akurat."
"Kalau takut disudutkan kita punya cara kok. Jadi, jangan ragu, jangan takut. Tidak perlu kita sampaikan dengan frontal. Kita bisa menyampaikan sesuatu pada konteksnya, dengan bahasa-bahasa yang lebih sopan," ungkap Putra Nababan lagi.
Dia berpesan, anak muda seharusnya tidak ikut menyebarkan hal yang tidak benar. Malah sebaliknya, meluruskan berita-berita hoax. Tugas verifikasi ini juga harus dikedepankan media online, ketimbang menjual sensasi.
"Pengaruh media online cukup luas. Sekarang kita tidak bisa mengatur pemirsa kita untuk nonton tayangan tertentu di jam tertentu. Suka-suka mereka. Untuk itu, butuh media yang disemenisasi untuk memenuhi kebutuhan pemirsa Indonesia. Melalu sosial media, melalui media digital. Maka dari itu, media konvensional itu harus dinamis jangan statis," ujarnya.