Jaringan seluler sumbang triliunan ke PDB Asia Pasifik
GSMA sebut jaringan seluler sumbang triliunan ke PDB Asia Pasifik.
Teknologi dan layanan seluler telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Asia Pasifik, mencapai USD950 miliar pada tahun 2024, yang setara dengan 5,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) regional. Proyeksi dari laporan Mobile Economy Asia Pacific 2025 yang dirilis GSMA menunjukkan angka ini akan melonjak menjadi USD1,4 triliun pada 2030, seiring dengan percepatan adopsi 5G, Internet of Things (IoT), serta kecerdasan buatan yang terus mentransformasi kawasan.
Ekosistem seluler tak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga turut mendukung lapangan kerja secara signifikan — sekitar 16 juta posisi pada 2024, terdiri dari 11 juta pekerjaan langsung di sektor seluler dan 5 juta pekerjaan di sektor terkait. Selain itu, sektor ini memberikan lebih dari USD90 miliar pendapatan bagi negara-negara regional pada 2024, di luar pendapatan dari biaya spektrum dan regulasi.
Investasi masif telah dilakukan operator seluler dengan dana mencapai USD220 miliar antara 2019 hingga 2024 untuk pembangunan jaringan 5G, serta komitmen tambahan sebesar USD254 miliar hingga tahun 2030. Namun begitu, laporan GSMA juga menggarisbawahi tantangan yang muncul dari kenaikan biaya spektrum — rasio biaya spektrum terhadap pendapatan operator meningkat tiga kali lipat dari 3% pada 2014 menjadi 9% pada 2023, sehingga membatasi alokasi dana untuk ekspansi jaringan dan pemerataan konektivitas, terlebih di wilayah pedesaan dan pasar berkembang.
Adopsi 5G di Asia Pasifik sendiri sudah mencapai 18% dari total koneksi seluler di 2024, dan diprediksi tumbuh pesat hingga menyumbang setengah dari koneksi pada tahun 2030. Namun, sekitar 48% populasi di kawasan Asia Pasifik masih belum dapat mengakses internet, menandakan masih adanya kesenjangan digital yang signifikan. Ke depan, kolaborasi antara pemerintah dan industri dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung investasi berkelanjutan dan ekspansi jaringan yang inklusif.
Laporan GSMA juga menyoroti berkembangnya ‘ekonomi penipuan’ yang menyebabkan kerugian global melebihi USD1 triliun pada 2024 serta meningkatnya ancaman siber akibat pemanfaatan 5G dan IoT. Untuk menghadapi tantangan ini, operator mulai mengaplikasikan sistem deteksi penipuan berbasis AI, menerapkan arsitektur zero-trust di infrastruktur digital, serta membentuk gugus tugas lintas sektor seperti Asia Pacific Cross-Sector Anti-Scam Taskforce (ACAST). Inisiatif seperti GSMA Open Gateway juga memperkuat keamanan aplikasi digital dengan menghadirkan standarisasi API untuk identitas dan perlindungan pengguna.
Dari sudut pandang kebijakan, keberhasilan ekspansi digital Asia Pasifik sangat bergantung pada strategi spektrum yang berkelanjutan, regulasi ramah inovasi, serta insentif fiskal untuk perluasan jaringan di wilayah yang belum terlayani. Berbagi infrastruktur dan pendanaan publik terarah akan mempercepat pemerataan layanan, sedangkan kepastian peta jalan spektrum menjadi pondasi kelangsungan ekspansi 5G maupun persiapan menuju era 6G di masa mendatang.
Dengan semua upaya tersebut, sektor seluler akan terus menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta akselerator penetrasi digital dan inovasi di kawasan Asia Pasifik, sekaligus menegaskan urgensi kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi tantangan dan menjaga peluang masa depan ekonomi digital.









