Peneliti temukan baterai berbasis jamur, dicetak pakai printer 3D
Peneliti dari Swiss Federal Laboratories for Materials Science and Technology (EMPA) baru-baru ini mengembangkan baterai cetak 3D yang unik, berbasis dua jenis jamur.

Peneliti dari Swiss Federal Laboratories for Materials Science and Technology (EMPA) baru-baru ini mengembangkan baterai cetak 3D yang unik, berbasis dua jenis jamur. Dilansir dari New Atlas (22/1), baterai ini menggunakan metabolisme jamur untuk menghasilkan energi, sehingga lebih mirip sel fuel ketimbang baterai konvensional. Proyek ini berlangsung selama tiga tahun, menggabungkan inovasi teknologi dengan keberlanjutan, menghasilkan baterai yang biodegradable dan non-toxic.
Baterai revolusioner ini terdiri dari dua komponen utama: anoda berbasis jamur roti (Saccharomyces cerevisiae) dan katoda yang dihuni oleh jamur putih rot (Trametes pubescens). Saccharomyces cerevisiae melepaskan elektron melalui proses metabolisme alaminya, sementara Trametes pubescens menghasilkan enzim yang menangkap dan mengalirkan elektron tersebut. Baterai ini dihasilkan dengan mencampur sel jamur ke dalam cetak 3D berbasis selulosa, yang tidak hanya mampu mengalirkan listrik tetapi juga menjaga integritas sel jamur.
Selain menjadi media penghantar listrik, cetak 3D berbasis selulosa ini juga berfungsi sebagai media untuk gula sederhana yang dapat dikonsumsi oleh jamur. Baterai ini memiliki sifat biodegradable, yang membuatnya sangat cocok untuk penggunaan di luar ruangan dan proyek-proyek penelitian lingkungan yang membutuhkan solusi energi yang aman dan ramah lingkungan. Keteruraian baterai ini mengurangi dampak limbah elektronik, yang biasanya menjadi masalah lingkungan.
Meski baterai ini belum mampu menghasilkan listrik dalam jumlah besar untuk perangkat seperti ponsel atau jam tangan pintar, mereka memiliki output antara 300 hingga 600 mV selama beberapa hari. Output ini cukup untuk mengoperasikan sensor-sensor kecil yang digunakan dalam memantau parameter lingkungan seperti suhu, cahaya, dan kelembapan di bidang pertanian dan penelitian lingkungan. Selain itu, baterai ini dapat disimpan dalam keadaan kering dan diaktifkan kembali hanya dengan menambahkan air dan nutrisi.
Ke depan, masih banyak penelitian yang perlu dilakukan untuk meningkatkan daya dan umur baterai ini. Namun, penemuan ini telah membuka jalan bagi penggunaan organisme alami dalam teknologi energi, memberikan alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Para peneliti berharap bahwa dengan terus berinovasi, baterai ini dapat digunakan dalam aplikasi yang lebih luas dan praktis.
Secara keseluruhan, perkembangan ini menunjukkan potensi besar dari teknologi berbasis organisme alami untuk menjawab tantangan energi masa depan. Keberhasilan proyek ini tidak hanya memperkuat posisi EMPA sebagai pemimpin dalam penelitian material, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam upaya global menuju solusi energi yang lebih hijau dan berkelanjutan.