×
Kanal
    • partner tek.id realme
    • partner tek.id samsung
    • partner tek.id acer
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd

Catatan generasi tukang belanja di Instagram

Oleh: Lalu Ahmad Hamdani | Dinda Ayu Widiastuti - Selasa, 21 November 2017 21:35

Aku jarang pergi ke mal untuk belanja. Aku lebih mengandalkan Instagram untuk membeli barang yang aku butuhkan.

Catatan generasi tukang belanja di Instagram

Belakangan ini, aku sering membaca artikel mengenai generasi Millenial dan Z. Aku pikir, banyak juga ya ahli marketing di luar sana yang suka meneliti tingkah laku kami para generasi Millenial dan Z ini. Ada salah satu media online yang sampai menurunkan laporan khusus berseri-seri, lengkap dengan infografis mengenai generasi Z.

Demi apa coba? Cuma demi menyelami perilaku kami belanja di internet. Memang, apa hebatnya sih cara kami mengkonsumsi produk dan layanan yang mereka jejalkan?

Oh ya, kamu perlu tahu, aku kelahiran 1995. Kalau kata Sosiolog, Karl Mannheim, aku masuk masa akhir generasi Millenial, sementara Generasi Z setelah aku, katanya, lahir 1997. Aku bingung juga sebenarnya, apa aku ini generasi Millenial akhir atau generasi Z sebenarnya?

Lepas dari itu, sudah banyak juga yang bilang generasiku ini beda dengan generasi sebelumku. Kenapa? Sebab, generasiku disebut sudah terbiasa dengan internet dan perkembangan teknologi. Mereka bilang kamilah generasi pengguna teknologi native.

Ah, tidak juga. Buktinya, aku sendiri masih suka nongkrong dan bersosialisasi ke mal kok. Sekarang pun, saat menulis catatan ini, aku sedang duduk di salah satu sudut restoran yang ada di dalam mal. Aku bosan di kantor. Jadinya, aku memilih menulis di tempat makan seperti ini saja biar tidak penat.

Meski termasuk generasi Z, aku juga merasakan perubahan zaman loh, dari yang belum serba digital, menjadi semuanya serba digital. Supermal Karawaci, yang tak jauh dari tempat aku dibesarkan, adalah mal yang sering aku kunjungi kalau aku berbelanja dulu. 

Di sini, aku biasa membeli semua keperluanku. Mulai dari keperluan sekolah, hingga kebutuhan sehari-hari. Seingatku, dua minggu lalu, aku baru saja dari sana. Sekadar jalan-jalan mencuci mata.

Aku perhatikan lebih jauh lagi, memang sekarang mal itu enggak seperti dulu. Supermall Karawaci sekarang cuma menyisakan H&M, Miniso, Hypermart, dan Carefour saja sebagai daya tariknya. Apa memang betul apa kata orang? Soal generasiku yang lebih suka belanja online?

Aku perhatikan lagi, di Supermall Karawaci orang-orang memang tujuannya hanya untuk belanja. Sementara aku lebih suka Summarecon Mall Serpong (SMS) karena lebih banyak pilihan tempat makannya. Di Karawaci minim pilihan. Seandainya seperti SMS, mungkin tidak membosankan.

Seiring bertambahnya usiaku, juga perkembangan teknologi yang makin maju akhir-akhir ini, cara belanjaku sejujurnya terpengaruh oleh media sosial. Aku kerap kali menggunaan media sosial Instagram sebagai tempat belanja. Buatku, Instagram memang bukan lagi untuk sekadar berbagi foto sehari-hari. Tapi, Instagram juga sebagai tempat favoritku berbelanja. Bukan cuma aku saja loh yang bilang begitu.

Teman aku, Tiya Septiyawati (24), seorang pegawai swasta, juga demikian. Baginya, belanja melalui Instagram lebih cepat dan simpel karena kita tidak perlu repot pergi ke mal. Memang, dia tidak belanja setiap hari di Instagram, tapi setiap hari pasti menyempatkan waktu mengecek barang-barang favoritnya di Instagram.

Memang, kami kadang-kadang kecewa karena pengalaman yang enggak menyenangkan. Tapi, itu enggak bikin kapok. 

Menurut Tiya, kelemahan belanja fesyen lewat online itu, seringkali bermasalah dengan ukuran baju yang kurang pas.

“Biasanya juga bahan baju yang enggak sesuai sama fotonya, terus warna dan modelnya yang enggak sesuai yang bikin jengkel. Tapi malah aku enggak kapok, karena lebih sering puasnya dibanding kecewanya,” kata Tiya.

Tiya sampai punya tempat langganan sepatu di Instagram. Namanya @adorableprojects. Memang, ini bukan merek terkenal seperti Nike atau Adidas. BUT, WHO CARES???? Hare gene masih fanatik merek? helllaaaaauuuuw.

Setelah aku kepo ke alamat website-nya, seller ini mengaku merek lokal asal Bandung. Mereka sudah eksis jualan online sejak 2008.

Coba pikirkan manfaat ekonominya? Kalau @adorableprojects ini buka lapak di mal, seperti penjual konvensional, paling-paling yang tahu orang Bandung. Tapi, karena mereka hadir di Instagram, semua orang jadi tahu kan? Pengikutnya saja sekarang ada 690 ribu. Pasti produk-produk mereka sudah dikirim ke mana-mana.

Hare gene masih fanatik merek? helllaaaaauuuuw.

Aku dan Tiya juga sama-sama sering terinspirasi membeli barang seperti yang sering dipakai para selebgram. Kami sebenarnya tahu selebgram itu mempromosikannya. Tapi, rasanya-rasanya cara mereka promosi tidak seperti iklan di televisi atau majalah (yang sering lebay).

Soalnya, selebgram itu seringkali pakai produk-produk yang sesuai kepribadiannya. Menurutku, pantas-pantas saja mereka mempromosikan barang-barang itu, tanpa harus terkesan jualan.

Tiya juga mengamini pandanganku soal pengaruh ini. 

“Justru awal mula pengen beli dari Instagram itu kadang-kadang karena lihat yang dipakai sama selebgram sih. Biasanya aku lihat selebgram @dwihanda,” kata Tiya ketika aku diskusi sama dia.

Belakangan ini, aku sering membaca artikel mengenai generasi Millenial dan Z. Aku pikir, banyak juga ya ahli marketing di luar sana yang suka meneliti tingkah laku kami para generasi Millenial dan Z ini. Ada salah satu media online yang sampai menurunkan laporan khusus berseri-seri, lengkap dengan infografis mengenai generasi Z.

Demi apa coba? Cuma demi menyelami perilaku kami belanja di internet. Memang, apa hebatnya sih cara kami mengkonsumsi produk dan layanan yang mereka jejalkan?

Oh ya, kamu perlu tahu, aku kelahiran 1995. Kalau kata Sosiolog, Karl Mannheim, aku masuk masa akhir generasi Millenial, sementara Generasi Z setelah aku, katanya, lahir 1997. Aku bingung juga sebenarnya, apa aku ini generasi Millenial akhir atau generasi Z sebenarnya?

Lepas dari itu, sudah banyak juga yang bilang generasiku ini beda dengan generasi sebelumku. Kenapa? Sebab, generasiku disebut sudah terbiasa dengan internet dan perkembangan teknologi. Mereka bilang kamilah generasi pengguna teknologi native.

Ah, tidak juga. Buktinya, aku sendiri masih suka nongkrong dan bersosialisasi ke mal kok. Sekarang pun, saat menulis catatan ini, aku sedang duduk di salah satu sudut restoran yang ada di dalam mal. Aku bosan di kantor. Jadinya, aku memilih menulis di tempat makan seperti ini saja biar tidak penat.

Meski termasuk generasi Z, aku juga merasakan perubahan zaman loh, dari yang belum serba digital, menjadi semuanya serba digital. Supermal Karawaci, yang tak jauh dari tempat aku dibesarkan, adalah mal yang sering aku kunjungi kalau aku berbelanja dulu. 

Di sini, aku biasa membeli semua keperluanku. Mulai dari keperluan sekolah, hingga kebutuhan sehari-hari. Seingatku, dua minggu lalu, aku baru saja dari sana. Sekadar jalan-jalan mencuci mata.

Aku perhatikan lebih jauh lagi, memang sekarang mal itu enggak seperti dulu. Supermall Karawaci sekarang cuma menyisakan H&M, Miniso, Hypermart, dan Carefour saja sebagai daya tariknya. Apa memang betul apa kata orang? Soal generasiku yang lebih suka belanja online?

Aku perhatikan lagi, di Supermall Karawaci orang-orang memang tujuannya hanya untuk belanja. Sementara aku lebih suka Summarecon Mall Serpong (SMS) karena lebih banyak pilihan tempat makannya. Di Karawaci minim pilihan. Seandainya seperti SMS, mungkin tidak membosankan.

Seiring bertambahnya usiaku, juga perkembangan teknologi yang makin maju akhir-akhir ini, cara belanjaku sejujurnya terpengaruh oleh media sosial. Aku kerap kali menggunaan media sosial Instagram sebagai tempat belanja. Buatku, Instagram memang bukan lagi untuk sekadar berbagi foto sehari-hari. Tapi, Instagram juga sebagai tempat favoritku berbelanja. Bukan cuma aku saja loh yang bilang begitu.

Teman aku, Tiya Septiyawati (24), seorang pegawai swasta, juga demikian. Baginya, belanja melalui Instagram lebih cepat dan simpel karena kita tidak perlu repot pergi ke mal. Memang, dia tidak belanja setiap hari di Instagram, tapi setiap hari pasti menyempatkan waktu mengecek barang-barang favoritnya di Instagram.

Memang, kami kadang-kadang kecewa karena pengalaman yang enggak menyenangkan. Tapi, itu enggak bikin kapok. 

Menurut Tiya, kelemahan belanja fesyen lewat online itu, seringkali bermasalah dengan ukuran baju yang kurang pas.

“Biasanya juga bahan baju yang enggak sesuai sama fotonya, terus warna dan modelnya yang enggak sesuai yang bikin jengkel. Tapi malah aku enggak kapok, karena lebih sering puasnya dibanding kecewanya,” kata Tiya.

Tiya sampai punya tempat langganan sepatu di Instagram. Namanya @adorableprojects. Memang, ini bukan merek terkenal seperti Nike atau Adidas. BUT, WHO CARES???? Hare gene masih fanatik merek? helllaaaaauuuuw.

Setelah aku kepo ke alamat website-nya, seller ini mengaku merek lokal asal Bandung. Mereka sudah eksis jualan online sejak 2008.

Coba pikirkan manfaat ekonominya? Kalau @adorableprojects ini buka lapak di mal, seperti penjual konvensional, paling-paling yang tahu orang Bandung. Tapi, karena mereka hadir di Instagram, semua orang jadi tahu kan? Pengikutnya saja sekarang ada 690 ribu. Pasti produk-produk mereka sudah dikirim ke mana-mana.

Hare gene masih fanatik merek? helllaaaaauuuuw.

Aku dan Tiya juga sama-sama sering terinspirasi membeli barang seperti yang sering dipakai para selebgram. Kami sebenarnya tahu selebgram itu mempromosikannya. Tapi, rasanya-rasanya cara mereka promosi tidak seperti iklan di televisi atau majalah (yang sering lebay).

Soalnya, selebgram itu seringkali pakai produk-produk yang sesuai kepribadiannya. Menurutku, pantas-pantas saja mereka mempromosikan barang-barang itu, tanpa harus terkesan jualan.

Tiya juga mengamini pandanganku soal pengaruh ini. 

“Justru awal mula pengen beli dari Instagram itu kadang-kadang karena lihat yang dipakai sama selebgram sih. Biasanya aku lihat selebgram @dwihanda,” kata Tiya ketika aku diskusi sama dia.

Kepraktisan Instagram

Bagiku yang saat ini sudah bekerja, belanja lewat Instagram terasa lebih praktis, efisien, dan menghemat waktu. Aku jarang pergi ke mal untuk belanja. Aku lebih mengandalkan Instagram untuk membeli barang yang aku butuhkan. Mulai dari pakaian, sepatu, hadiah ulang tahun, bunga, hingga peralatan makeup. Kalau sedang lihat Insta Stories, lalu tiba-tiba ada produk yang menarik, tinggal swipe ke atas untuk belanja. Segampang itu.

Aku lebih sering menyebut kebiasaan belanjaku di Instagram itu sebagai kecelakaan. Iya benar, tanpa sengaja, karena aku biasa melihat akun-akun selebgram, jadi aku mudah terinspirasi. Biasanya, di bawah caption posting-an selebgram aku selalu kepo. Di situ, selebgram selalu menandai (@) akun penjualnya. Kalau tidak, biasanya aku tinggal pencet foto selebgram untuk lihat penanda yang ada di dalamnya. Nanti aku bisa tahu, di mana produk itu bisa aku beli.

Tapi ngomong-ngomong, kesannya aku sepertinya konsumtif banget ya?

Eit, siapa bilang generasi kami cuma tahu soal belanjanya saja. Tiya juga salah satu reseller hijab. Nama akunnya @hijabafra. Followernya sekarang sudah 3.140. Cukup banyak untuk sebuah bisnis yang dia kerjakan secara sambilan.

Tiya sudah menjalaninya sejak 2015 silam. Mayoritas pembelinya berusia 20 hingga 30 tahun. Saat pertama memulai berjualan online, Tiya sering memasarkannya melalui kolom komentar para artis. Hahaha...ini spam sih, tapi ternyata ampuh juga.

Waktu tahu soal ini, aku sampai meledeknya.

“Apa bedanya kamu dengan admin produk pemutih kulit dan wajah yang sering nongol di komentar artis itu?” kataku sambil ketawa-tawa. Tiya tertawa juga mendengar celotehanku, tapi dia mengakui kalau cara ini cukup ampuh menaikkan jumlah followers.

Selain Tiya, aku punya teman juga, namanya Mira (27). Wanita yang berprofesi sebagai konsultan PR ini punya akun @mer.re di Instagram. Sama seperti Tiya, Mira sudah mulai iseng jualan Pouch dan Tote Bag sejak 2015. Alasan Mira iseng jualan di Instagram karena ingin menyalurkan hobi menggambarnya. “Dulu gue ingin jadi seniman, tapi enggak bakat,” kata Mira mencoba merendah.

“Jadi gue mikir bagaimana caranya bisa menyalurkan hobi tapi nambah duit jajan? Terus waktu itu ada temen gue mau nikah. Gue nawarin diri buat gambarin souvenir-nya. Ujungnya malah gue yang bikin souvenir-nya karena dia enggak tahu bikinnya di mana,” kata Mira.

Mira sempat mencoba hadir di aplikasi khusus kebutuhan pernikahan, Bridestory. Aplikasi ini merupakan wedding marketplace paling besar di Indonesia. Tapi, justru Instagram yang lebih tepat sasaran, “Gue sempat hadir di Bridestory tapi enggak mendatangkan banyak sales, jadi gue enggak lanjut account-nya,” tutur Mira.

Akun Mira, @mer.re kini sudah punya 1.459 pengikut di Instagram. Mira bilang, pesanan terbaru yang dia produksi adalah 60 buah souvenir. Souvenir ini bisnis partai besar menurut Mira, “Gue pernah juga dapat order dari perusahaan langsung 1.000 buah,” ungkapnya yang biasa menangani order 500 buah. Tidak tanggung-tanggung, dari keterangan Mira, pesanan terjauh sempat datang dari Makassar langsung.

Fakta dan data Instagram

Tidak aneh bila Instagram jadi tempat promosi paling pas buat wanita muda seperti aku, Tiya, dan Mira. Pew Research Center, sempat menerbitkan laporan penelitian demografi pengguna media sosial di internet 2015 silam.

Dari penelitian itu, aku jadi tahu pengguna Instagram memang mayoritas wanita. Memang sih, sampel penelitiannya masih seputar pengguna Instagram asal Amerika. Tapi menurutku, ini demografi yang cukup menarik untuk ditinjau.

31 persen pengguna Instagram adalah wanita, sementara pengguna pria hanya 24 persen. Usia yang mendominasi adalah 18-29 tahun dengan persentase sebesar 55 persen. Usia 30-49 tahun di nomor urut kedua dengan persentase 28 persen.

Pendidikan mereka mayoritas sarjana, dengan persentase mencapai 32 persen. Pengguna dengan pendidikan pascasarjana juga lumayan banyak di Instagram yakni, 26 persen. Hootsuite, platform manajemen media sosial terbesar mengatakan, Instagram adalah tempat yang cocok untuk memasarkan produk dan merek yang sesuai dengan kaum hawa. Fesyen wanita dan cemilan eksotis menjadi produk yang paling pas dengan demografi yang ditawarkan Instagram ini.

Ambil contoh dari merek fesyen H&M. Setiap kali ada hari nasional terkait makanan, mereka selalu ikut meramaikannya. Suatu hari, pada perayaan Hari Es Krim Nasional di Amerika, H&M menawarkan produk-produk berwarna pastel mereka yang bersanding foto es krim berwarna senada. Foto tersebut menuai ratusan ribu likes dari pengguna Instagram.

 

Tomorrow we can eat broccoli, but today is for ice cream! #nationalicecreamday???? #HM??

Sebuah kiriman dibagikan oleh H&M (@hm) pada

Akhirnya sampai juga di ujung catatanku. Hari sudah sore, sudah saatnya aku pulang. Lagipula, tidak enak kelamaan duduk di sini tanpa memesan apa-apa lagi. Hehe. Mungkin, manusia kayak gue ini kali ya, yang bikin penjualan mal sepi. Ke mal nongkrong doang, giliran belanja eh buka Instagram.

Tag

Tagar Terkait

×
back to top