Mampukah fintech Indonesia sekelas China?

Oleh: Lalu Ahmad Hamdani - Kamis, 15 Feb 2018 16:24 WIB

Menatap masa depan industri teknologi finansial di Indonesia.

Jason Bellini, jurnalis The Wall Street Journal, pada Januari 2018 lalu tengah berada di Shenzhen, China. Di sana dia terheran-heran karena penggunaan uang kas sangat sedikti sekali. Di sana Jason melihat bagaimana Tencent (Wechat) dan Alibaba (Taobao) adalah raksasa finansial teknologi di negara itu.

Jason melihat setiap orang, di semua sudut kota Shenzhen, memindai QR Code melalui kamera ponsel pintar mereka. Melalui teknologi mirip bar code itu, penduduk kota Shenzhen bertransaksi, membeli makanan, menyewa sepeda, dan lain-lain. Jason merasa asing, karena kebudayaannya sama sekali berbeda. Di Amerika Serikat, mereka lebih suka memakai kartu kredit dan uang kas untuk mendapatkan sesuatu. Namun Jason sekaligus takjub melihat geliat ekonomi yang disokong teknologi finansial di Shenzhen.

Di Shenzhen, Alibaba memiliki supermarket bernama Hema. Semua barang kebutuhan di sana dibayar dengan cara memindai QR Code. Bahkan ketika pelanggan membeli kepiting segar yang masih hidup, pelanggan membayar dengan metode pindai QR Code. Tidak cuma melayani pembelian di tempat, pelayan juga melayani pesanan dari rumah melalui aplikasi mobile. Tentu semua transaksi dilayani oleh satu aplikasi pembayaran, Alipay. 

Fenomena ini merupakan model bisnis baru yang tidak terbayangkan oleh Jason sebelumnya. Pada 2004 lalu, Alibaba merilis Alipay untuk sistem pembayaran elektronik di platform ecommerce mereka, Taobao. 

Dalam tempo satu dekade kemudian, momentum yang ditunggu-tunggu pun tiba. Meroketnya pengguna ponsel pintar di China menciptakan peluang bagi Alipay untuk terhubung dengan pengguna yang tidak tersentuh layanan perbankan (unbanked).