Indonesia darurat perlindungan privasi data

Oleh: Lalu Ahmad Hamdani - Rabu, 03 Jul 2019 14:57 WIB

Sebagai negara pasar digital terbesar di Asia Tenggara, perlindungan data pribadi sangat penting artinya.

Irha (23) pekerja kreatif, mengaku sering menerima pesan singkat berupa pinjaman online dari nomor tidak dikenanyal. Meski tidak ia baca semuanya, karena jumlahnya menumpuk hingga 300 SMS, ia merasa pesan-pesan tersebut "mengotori" notifikasi smartphone-nya. Padahal ia sudah jarang membeli pulsa secara konvesional. Ia lebih sering membeli pulsa di e-commerce atau lewat Grab. Artinya, data nomor handphone-nya kemungkinan beredar dan disalahkan gunakan secara digital. Menurutnya, aplikasi yang sering memintanya memvalidasi nomor handphone dan kontaknya adalah game-game mobile. Ia curiga data nomor handphone-nya mulai tersebar setelah memberikannya ke pengembang game mobile.

Diaz (25) karyawan swasta, juga mengalami persoalan serupa. Ia punya pengalaman unik, karena jasa finansial yang menghubunginya lewat SMS sampai tahu nama lengkapnya tanpa kesalahan eja. Sama seperti Irha, Diaz juga sudah tidak lagi mencatut nomor handphone di merchant pengisian pulsa konvensional. Ia biasa bertransaksi lewat mobile banking. Diaz punya batasan tersendiri mengenai spam ini. Menurutnya, kalau sekedar tawaran via SMS mungkin masih wajar, karena tidak perlu ia balas. Hanya saja privasinya mulai terganggu ketika dihubungi via telepon oleh telemarketing jasa finansial yang tidak ia kenal.

Pada akhir 2018 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengemukakan, penetrasi internet telah mendorong pengembangan berbagai inovasi berbasis digital. Terkait praktik tersebut, pengumpulan data menjadi massif. Pemerintah maupun sektor swasta sama-sama memiliki kepentingan dalam praktik pengumpulan data ini.

Dalam kacamata positif, praktik ini memang perlu untuk ekspansi bisnis dan perbaikan layanan publik, namun masih ada hal-hal pelik yang perlu kita perhatikan. Penghormatan atas hak asasi harus djunjung tinggi. Oleh karena itu, hukum, teknologi, dan praktik terkait transfer data pribadi lintas kepentingan, harus bisa mengurangi risiko pelanggaran hak asasi. Undang-Undang perlindungan data pribadi yang komprehensif harus segera disahkan.

Studi ELSAM (2016), mengidentifikasi sedikitnya ada 30 UU yang terkait dengan perlindungan data pribadi. 30 puluh UU itu memiliki prinsip dan rumusan berbeda. Akibatnya, perusahaan-perusahaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi memiliki kesenjangan term of services, alias tidak seragam. Padahal, UU perlindungan ini juga bisa menjadi nilai tawar bagi kekuatan ekonomi digital Indonesia di ranah internasional.