sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id telkomsel
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id acer
Minggu, 30 Des 2018 20:05 WIB

Ponsel kian membosankan, AI menyelamatkan

Kecerdasan buatan menyelamatkan kita dari rasa bosan terhadap smartphone baru yang kelihatannya begitu-begitu saja.

Tren smartphone pada tahun 2018 kian membosankan. Masih banyak vendor yang cari sensasi dengan menyuguhkan, ponsel RAM terbesar, penyimpanan terbesar, prosesor tercepat, dan tetek bengek lain yang sesungguhnya enggak begitu berguna buat kebutuhan kita.

Untunglah, inovasi berbasis peranti keras itu tak melenggang sendiri. Ada peranti lunak dalam wujud kecerdasan buatan (AI) yang menyelamatkan kita dari rasa bosan terhadap produk yang begitu-begitu saja. Apa contohnya?

Sebelum saya menjawab, apakah Anda sudah nonton iklan Google terbaru? Kalau belum, coba Anda tonton dulu di bawah ini.

 

Google Assistant adalah asisten digital pengenal suara (voice recognition). Ia mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk mempelajari frasa-frasa yang sering digunakan pengguna saat mengeluarkan perintah suara.

Awalnya, saya lebih memilih pengaturan Bahasa Inggris untuk mengaktifkan Google Assistant. Dalam Bahasa Inggris, Google Assistant lebih pintar, ketimbang menyetelnya ke Bahasa Indonesia.

Namun mulai tahun ini, AI Google Assistant jadi lebih canggih. Ia sudah dapat memahami Bahasa Indonesia, walau informal sekalipun.

“Puterin lagu Darren Hayes di Spotify!” kata saya.

Meski tidak baku, Google Assistant tetap dapat melakukan pekerjaan sesuai perintah. Ini berkat machine learning yang mengumpulkan data-data pengguna. Makin banyak data, makin pintar produk kecerdasan buatan seperti, Google Assistant ini.

Produk AI, seperti Google Lens, Photos, dan Assistant, memproses lebih banyak data dari setiap individu yang menggunakannya. Machine learning sendiri mengacu kepada peranti lunak yang dirancang untuk mendeteksi pola dan mempelajari pola tersebut. Mesin ini pun kemudian menggunakan analisisnya untuk mengatur perilaku mereka sendiri.

Sebelum AI merajalela, Google hanya bisa memantau yang Anda lakukan di ranah online, tetapi setelah kehadiran aplikasi, seperti Lens, Google bisa melihat yang Anda lakukan.

Pada Juni lalu, Google awalnya berencana untuk meluncurkan aplikasi Lens agar mendukung semua perangkat Android. Namun, aplikasi ini hanya diluncurkan di beberapa negara saja. Lens juga hanya berjalan di perangkat tertentu. Mengutip The Verge, Google Lens dapat berjalan dengan lancar di perangkat Galaxy Note 8. Namun dikabarkan, aplikasi ini tidak berjalan lancar pada Galaxy S8 Plus.

Sebagai bagian dari Google Assistant, fitur ini dapat menganalisis dunia nyata via kamera ponsel dan menampilkan hasil pencarian yang relevan. Selain itu, AI pada Google Lens tidak terbatas hanya pada pengenalan visual, ia juga dapat menyarankan aksi berikutnya, berdasarkan apa yang ditangkap kamera. Misal, Lens dapat mendeteksi teks sebagai SSD dan password Wifi, lalu menanyakan apakah Anda ingin terhubung ke jaringan Wifi tersebut atau tidak.

Teknologi AI di Lens juga bertujuan meningkatkan kualitas kamera ponsel. Ia mampu mengenali ekspresi wajah, komposisi fotografi, tata cahaya, subjek yang ingin difoto dan masih banyak lagi.

Tahun ini, Google juga mengumumkan aplikasi Translate offline yang lebih akurat dibandingkan sebelumnya. Seperti Anda ketahui, tingkat akurasi Google Translate secara online lebih tinggi dibanding menggunakannya secara offline.

Menurut Cnet, hal tersebut karena Google menggunakan teknologi Neural Machine Translation (NMT). Teknologi ini kemudian tersedia secara offline dan akan berjalan di aplikasi Google Translate pada perangkat Android dan iOS.

Sistem AI dari teknologi NMT menerjemahkan kalimat secara keseluruhan ketimbang per kata, serta mempertimbangkan konteks yang lebih luas untuk mencari padanan kata paling relevan. Google menjelaskan bahwa hal tersebut menjadikan terjemahan paragraf dan artikel lebih mulus.

Anda dapat mengakses terjemahan offline NMT dengan cara mengatur ‘offline translation’ di aplikasi Translate. Ada tanda panah di samping bahasa untuk mengunduh fitur ini.

Kehadiran AI juga membuat kualitas kamera ponsel meningkat signifikan. Ia tak lagi hanya bergantung pada lensa dan sensor gambar, tetapi juga pada peranti lunak dengan algoritma mutakhir di dalamnya.

Asus ZenFone 5, misalnya, mampu mengenali 16 jenis pemandangan dan subjek foto, mulai dari orang, makanan, hewan, matahari terbenam, langit, lautan, bunga, hingga tulisan. Ketika Anda memotret makanan, layar ponsel akan menampilkan tanda makanan. Selanjutnya, ia menambahkan saturasi warna agar makanan yang difoto semakin menggugah selera.

Contoh lainnya adalah iPhone X. Ponsel besutan Apple ini menggunakan beberapa sensor demi menghadirkan fitur Face ID. Face ID ini sendiri adalah sistem pengamanan berbasis pengenalan wajah. Sensor-sensor yang diperlukan untuk sistem Face ID bertempat di atas layar. Lantaran Apple ingin menerapkan full screen pada iPhone X, maka layarnya terdapat notch.

Nah, notch yang awalnya mendapat kritik dari banyak media tersebut, justru ditiru habis-habisan oleh hampir semua pabrikan ponsel, sehingga menjadi tren sepanjang 2018.

Pabrikan lain juga meniru emoji bergerak Apple yang mereka sebut Animoji. Pertama kali hadir di iPhone X, sebenarnya fitur ini berbasis Augmented Reality (AR) dan diperkuat oleh AI.

Samsung menyebutnya sebagai AR Emoji, Asus menyebutnya sebagai ZeniMoji, dan Huawei mengatakannya sebagai Qmoji. Intinya, ponsel dapat mendeteksi wajah pengguna dan menerjemahkannya sebagai avatar. Avatar ini dapat mengikuti pergerakan bibir dan mimik wajah ketika pengguna berbicara. Banyak orang yang menggunakan fitur ini untuk dipamerkan ke Instagram Stories mereka.

Menyinggung soal Instagram, pasti ada kaitannya dengan kamera. Pasalnya, hampir setiap orang menginginkan hasil foto yang baik. Jadi, pabrikan ponsel juga bersaing demi menyajikan kamera terbaik untuk para penggunanya. Karena ponsel tidak memiliki focal length sebesar kamera mirrorless, maka efek bokeh yang diberikan pun tidak semulus kamera mirrorless.

Demi menanggulangi masalah tersebut, pabrikan ponsel menyematkan kamera lebih dari satu kamera di produk mereka. Kamera ganda, misalnya, memungkinkan ponsel untuk mendeteksi depth-of-field (DOF) subjek foto. Selanjutnya, prosesor gambar yang dibantu AI memilah mana yang subjek dan mana yang latar belakang (background). Semakin canggih prosesor yang digunakan, semakin mulus pula pemisahan efek subjek dan background.

Kamera belakang ganda sebenarnya sudah ada sejak tahun 2014 silam lewat HTC One (M8). Sementara ponsel yang pertama kali dibekali kamera depan ganda adalah Lenovo Vibe S1 yang dirilis tahun 2015.

Pada bulan Maret 2018, Huawei melakukan terobosan baru dengan menyematkan tiga kamera belakang pada P20 Pro. Dua kamera untuk mendeteksi DOF subjek dan satu kamera lagi memiliki sensor monokrom. Setelah pemotretan yang dikombinasikan dengan sensor RGB dan monokrom, hasil foto memiliki kontras tajam dan warna akurat.

8 bulan kemudian, Samsung menghadirkan ponsel pertama di dunia dengan empat kamera lewat Galaxy A9 (2018). Di Indonesia, ia hadir pada tanggal 22 November 2018. A9 memiliki sensor ultra-wide 8 MP dengan aperture f/2.4. Lensa ini memungkinkan pengguna mendapatkan gambar dengan sudut pandang hingga 120 derajat.

Lensa kedua berjenis telephoto 10 MP f/2.4, dan zoom optik 2x. Kamera ketiga memiliki sensor 24 MP dengan aperture f/1.7. Kamera keempat memiliki sensor 5 MP dengan aperture f/2.2. Kamera terakhir tersebut memiliki resolusi rendah agar memiliki photosite berukuran besar, sehingga mampu menangkap cahaya lebih banyak di dalam kondisi redup. Selain itu, kamera ini diklaim akan membantu memotret informasi depth-of-field (DoF) demi menghadirkan fitur Live Focus.

Intinya, para pabrikan ponsel menghadirkan multi kamera agar skenario memotret jadi lebih kaya. Sistem multi kamera juga berguna untuk menghadirkan efek bokeh.

Namun tidak semua ponsel unggulan menggunakan multi kamera. Google Pixel 3, misalnya, mampu menghadirkan efek bokeh menawan hanya dengan satu kamera. Tentu saja hal ini tidak lepas dari bantuan AI yang mampu memisahkan subjek dan background. Selain itu, Pixel 3 menggunakan fitur ‘spilt pixels’ untuk mengkreasi efek bokeh. Teknologi ini mampu mendeteksi subjek sembari mempertahankan ketajamannya.

Tahun 2018 juga menandai banyaknya ponsel dengan embel-embel gaming. Xiaomi menghadirkan seri Black Shark. Secara teknis, Black Shark adalah sebuah perusahaan independen. Berkat investasi Xiaomi yang sangat besar, keduanya berharap dapat berhadapan langsung dengan Razer dan Nubia sebagai pemain awal di pasar ini. Di Indonesia, Asus menggebrak dengan merilis ROG Phone secara resmi.

Kehadiran ponsel gaming bukan kejutan karena tren gim mobile yang terus meningkat. Bahkan, gim di perangkat mobile bukan lagi sekadar pengisi waktu luang berkat kehadiran eSport. Anda dapat membaca laporan kami tentang eSport di sini.

Share
×
tekid
back to top