sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id telkomsel
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id realme
Senin, 02 Des 2019 12:00 WIB

Masa depan pekerjaan di Indonesia 2030, perubahan dan harapan

Anak remaja Indonesia yang kini duduk di bangku SMP tahun ini, 2030 mendatang akan masuk angkatan kerja. Dunia yang bakal mereka hadapi akan sangat berbeda dan jauh menantang.

Dalam acara Google for Indonesia 2019, Nadiem Makarim menyampaikan sebuah pidato yang menarik setelah kini menjabat Mendikbud (21/11). Ia berkata sangat tertarik mengembangkan pendidikan di Indonesia. “Agar Indonesia ini maju, memiliki SDM yang unggul, kita tidak mungkin mengikuti jalur yang sama seperti yang dilakukan Negara-negara lain,” ujar Nadiem.

Nadiem beranggapan, pendidikan teknologi adalah shortcut mencapai SDM unggul. Yang lebih penting lagi adalah, bagaimana teknologi itu membentuk atau mengoptimalkan kemampuan manusia. Nadiem menyebut, optimalisasinya 10 kali lipat dengan bantuan teknologi. Kendati begitu, masih menurut Nadiem, dalam membangun hal tersebut, cara kerja kita nanti akan berbeda.

“Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan,” ujar Nadiem dalam pidatonya di Hari Guru Nasional (24/11). Kutipan pidato ini memang patut digaris bawahi, karena ada beragam riset yang menunjukkan, masa depan dunia sedang bergerak ke arah yang tak terprediksi, utamanya karena inovasi di bidang IT mengubah secara fundamental industri serta sosial ekonomi kita saat ini.

Selama pengalaman saya mewawancarai beberapa eksekutif di industri IT, memang selalu terbit isu, ada celah besar antara industri dengan angkatan kerja. Bukan dari jumlah, tapi kemampuan individu yang dibutuhkan industri, utamanya di bidang teknologi informasi, yang kurang kompeten dengan kondisi saat ini. Tidak heran kondisi ini memaksa mereka “impor” tenaga kerja berkualitas dari luar negeri, seperti India misalnya.

Celah ini berakar pada sumber daya manusia yang kita miliki, di mana “pabrik” terbesarnya ada pada dunia pendidikan kita. Berkaca pada penelitan McKinsey Global Institute (6/2019), pada era otamatisasi yang kita jalani saat ini, adopsi teknologi bisa menggantikan pekerjaan banyak orang, utamanya perempuan. Secara global, 40 juta dari 160 juta perempuan perlu bertransisi pada perubahan ini di 2030 mendatang. Kebutuhan industri 10 tahun nanti memerlukan kemampuan tingkat tinggi agar manusia lebih produktif, dan mendapatkan gaji lebih layak. Apabila tidak ada transisi, mereka ketinggalan gerbong dan kehilangan kesempatan.

Studi pada 10 negara berbeda yang dilakukan McKinsey menyebut, rata-rata 20% dari 107 juta pekerja perempuan dan 21% dari 163 juta pekerja laki-laki akan kehilangan pekerjaan mereka dan tergantikan oleh mesin serta algoritma komputer 2030 mendatang.

Kembali ke sektor pendidikan, ini berarti anak-anak didik kita yang saat ini duduk di bangku SMP, SMA, SMK, pada 2030 mendatang akan menjadi angkatan kerja. Tidak heran dalam 4 program utama Nadiem, salah satu prioritasnya adalah pengembangan teknologi untuk membantu dan meningkatkan kapasitas guru. Selain itu, ia berencana untuk memasukkan bahasa pemrogaman sebagai mata pelajaran di dalam kurikulum pendidikan nanti.

Sebenarnya sudah lama pemerintah berharap pelajaran coding ini masuk kurikulum, utamanya di sekolah menengah. Ide ini tercetus sejak 2015, saat Rudiantara, Menkominfo saat itu, berkoordinasi dengan Mendikbud yang masih dijabat Anies Baswedan. Laporan Kompas 2018 bahkan menyebut, kurikulum coding tengah dipersiapkan masuk kurikulum di era Mendikbud Muhadjir Efendi.

Yang hilang dan tergantikan

Perubahan di bidang IT mentransformasi dunia kerja. Otomatisasi menjanjikan produktivitas baru, seperti layaknya mesin dan robot-robot yang digunakan di pabrik-pabrik manufaktur menggantikan tugas-tugas fisik manusia. Sementara tugas fisik tergantikan, pekerja manusia dituntut untuk meningkatkan kemampuan lain mereka. Secara tidak langsung, tenaga kerja yang diperlukan adalah teknisi (operator mesin), analis, dan beberapa pekerjaan baru di sektor technical services.

Pada Negara-negara berkembang, sektor kesehatan, investasi di bidang infrastukur dan energi, menjadi tinggi. Berikut lapangan pekerjaan yang akan menghilang dan meningkat permintaannya di 2030.

Berdasarkan data angkatan kerja dari 15 negara yang dikumpulkan Mckinsey, berikut adalah kemampuan individu yang tidak lagi diperlukan dan akan tergantikan dengan kemampuan lain yang lebih produktif.

Lebih jauh lagi mengenai kemampuan yang dimaksud adalah sebagai berikut;

Fisik dan manual ; mengoperasikan peralatan, inspeksi dan monitor.

Skill kognitiv dasar ; input dan proses data, baca tulis hitung dasar, dan komunikasi dasar.

Kognitiv tinggi ; kreativitas, memproses dan menginterpretasikan informasi kompleks.

Sosial & emosional ; entrepreneurship dan inisiatif, kepemimpinan dan manajerial.

Teknologi ; kemampuan IT dan pemrograman tingkat lanjut, dan kemampuan dasar di bidang digital.

Dampaknya kepada pekerja perempuan

Pekerja perempuan berpendapatan rendah di Negara berkembang menghadapi tantangan yang lebih berat daripada pekerja perempuan berpendapatan rendah di Negara maju, di era otomatisasi saat ini. Pekerja perempuan di Negara berkembang perlu penanganan spesifik, guna memastikan mereka mendapat kesempatan layak meski menghadapi lanskap perubahan di era otomatisasi. 

Perempuan sendiri memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Perusahaan dengan tingakat diversitas lebih dari 15%, terbukti seringkali memperoleh keuntungan finansial lebih tinggi dari rata-rata perolehan industri nasional.

Data McKinsey September 2019 lalu mengenai otomatisasi dan pekerjaan masa depan di Indonesia, menunjukan bahwa, 36% pekerja berpendidikan lebih rendah dari SMP pada 2030 mendatang harus berganti bidang pekerjaan.

Ketika ingin berkompetisi dan menjadi pemain penting di regional ASEAN, pemerintah harus mengadopsi AI baik di sektor penentu kebijakan, institusi akademik, LSM, dan pemimpin bisnis. Mereka harus bersiap untuk menghadapi perubahan substansial. Seperti halnya Nadiem, petinggi Gojek seperti Alamanda Shantika dan Crystal Widjaja juga menyadari bahwa harus ada persiapan untuk agar celah industri dan kebutuhan tenaga harus dipersempit. Alamanda membangun Binar Academy, pusat edukasi non formal yang membantu mencetak programmer andal.

Pada kesempatan wawancara dengan Alamanda April lalu, Ia mengatakan bahwa Binar Academy telah berhasil menyalurkan 250 talenta terbaik mereka ke perusahaan mitra Binar. Menurut Alamanda, talenta Indonesia juga bisa memiliki kemampuan setara talenta dari negara maju.

Lain Alamanda, lain juga dengan Crystal. Sembari masih aktif di Gojek, ia membangun Girl Generations. Girl Generation berkonsep adalah NGO di bidang pendidikan bersifat short course.

“Tantangan seorang perempuan di bidang Science, Technology, Engeenering, and Math (STEM) adalah kurangnya kesempatan akses sehingga saya membuat Girl Generation, untuk menyediakan akses dukungan dan sumber daya untuk perempuan yang masih sangat awam di bidang STEM,” ujar Crystal.

Crystal tahu betul bidang yang ia geluti saat ini amat sangat penting bagi perkembangan perusahaannya, Gojek. Oleh karena itulah, Crystal ingin berbagi lebih jauh untuk membantu talenta-talenta perempuan Indonesia yang sebenarnya selama ini tidak terdeteksi.

“Algoritma misalnya menjadi andalan Gojek untuk mendorong tim bisnis kita menciptakan produk yang menarik. Daripada melabeli produk (Gojek) secara manual, kami mengembengkan kemampuan yang sangat menarik dengan bekerja menggunakan Algoritma dan AI. Ini mendorong kemampuan potensial manusia. Di Girl Generation, saya sendiri terkesima dengan perempuan-perempuan muda berusia 12 tahun, karena mereka sangat cepat menangkap konsep baru kurang dari dua jam. Jadi saya sendiri impres dan optimis dengan pekerjaan di masa depan. Kita memang perlu sedikitnya 15% kontribusi (perempuan) di angkatan kerja, yang bisa membimbing kita ke inovasi (terdepan),” ujar Crystal.

Share
×
tekid
back to top