sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id poco
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id telkomsel
Selasa, 13 Agst 2019 17:06 WIB

eSport, bukan industri main-main

Banyak orang yang menganggap eSport sebagai ajang pembenaran anak untuk bermain gim seharian. Padahal, industri eSport saat ini sudah sangat menggiurkan.

eSport, bukan industri main-main
Ilustrasi Industri eSport (Pixabay)

Bermain gim tak akan bisa menjadi sebuah pekerjaan. Kalimat tersebut mungkin sering kita dengar dari orang tua, kepada anak mereka yang merupakan generasi Z. Mungkin beberapa di antara kita juga bahkan pernah mendengar langsung hal itu.

Banyak orang tua mengatakan bahwa eSport merupakan ajang pembenaran anak untuk bermain gim seharian. Tapi, kian lama kalimat tersebut semakin tak relevan lagi. Pasalnya industri electronics sport alias eSport terus bertumbuh. Hal ini menjadikan banyak tim eSport baik pemula hingga profesional semakin menjamur, bahkan di Indonesia.

Menurut data dari lembaga survei Newzoo, industri gim di Indonesia pada 2018 ada di urutan ke-17 di seluruh dunia. Bahkan, Indonesia berhasil mengungguli dua negara tetangga yakni Thailand dan Malaysia.

Dalam data tersebut terungkap juga jumlah gamer di Indonesia. Kini pemain gim di Indonesia sudah mencapai 46,2 juta orang. Jumlah ini sudah lebih dari setengah pengguna internet di Indonesia. Fakta ini mengukuhkan bahwa industri ini bukan hanya sekedar bisnis musiman, apalagi setengah matang. 

Tak sampai disitu saja, hadiah setiap pagelaran game besar tak tanggung-tanggung. Kami contohkan tiga gim populer saat ini, Dota 2, PUBG Mobile, dan Fortnite. Hadiah yang ditawarkan tak tanggung-tanggung, mulai dari USD2,5 juta (Rp35 miliar) hingga USD32 juta (Rp448 miliar).

Bukan hanya industri gim saja, melainkan pada saat ini eSport sudah menjadi lahan bisnis. Lihat saja beberapa tim eSport besar Indonesia, seperti Onic. Mereka bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah tidak hanya dari hadiah saja.

Mereka memiliki beberapa cara untuk memastikan tim eSport mereka dapat berlatih tanpa harus memikirkan biaya. Utamanya mencari pendanaan dengan jalan sponsorship. Pendanaan model seperti ini sudah menjadi lumrah di industri olahraga mainstream. Onic pun melakukan hal yang sama. Mereka menggandeng Dana, salah satu fintech asal Indonesia sebagai sponsor mereka.

Lantas, timbul pertanyaan baru. Apa sih yang sebenarnya diharapkan oleh para sponsor dengan mendanai tim eSport? Ternyata, menurut Senior Marketing Manager DANA, Lim Wimawan, ada simbiosis mutualisme antara mereka dengan Onic.

Tapi, dibalik hal tersebut, Lim menegaskan bahwa ada kesamaan visi antara mereka dan Onic, yakni memajukan industri eSport. Onic memajukan eSport dari sisi mereka, Dana melakukannya dengan menyediakan platform pembelian in-game menggunakan platform dompet digital mereka.

“eSport punya masa depan yang sangat besar bagi kami. Millennial sudah banyak shifting, ditanya mau jadi apa, mereka mulai bilang menjadi pro esport. Tapi, kita tidak luput memperhatikan sisi perekonomian, terutama infrastruktur digital. Kita menyediakan platform untuk mempermudah industri game untuk berkembang,” kata Lim.

Selanjutnya : Sudah mulai dilirik Venture Capital >>>

Selain menggaet sponsor, ada satu lagi cara yang bisa dilakukan oleh para tim eSport untuk mendapatkan pendanaan untuk operasional mereka, yakni melalui jalur Venture Capital (VC).

Saat ini, VC sudah mulai tertarik untuk menggelontorkan dana untuk tim eSport. Salah satunya adalah Agaeti Venture Capital. Mereka merupakan VC yang mendanai Onic.

“Kenapa kita tertarik ke eSport? Kita selalu melihat sesuatu itu 5 sampai 7 tahun ke depan. Kita melihat apakah sesuatu akan tetap berdampak di waktu tersebut. Sekarang, kita lihat eSport sudah sama seperti startup. Sudah bisa mulai diterawang,” kata salah satu petinggi Agaeti, Carey Ticoalu.

Dia mengatakan, selama melakukan riset, mereka melihat adanya peningkatan pendapatan industri eSport selama beberapa tahun terakhir. Sudah mulai banyak yang sadar akan kehadiran industri tersebut serta potensinya.

“Kita lihat ya selama 3 tahun terakhir interest masyarakat sudah berkembang sebesar 15 persen. Jika kita melihat 5 sampai 7 tahun lagi, anak-anak yang berusia 10 tahun sudah akan mulai menjadi pemain profesional,” lanjutnya.

Dia juga mengatakan, mungkin saat ini orang menganggap bermain gim itu hanya sekedar hobi saja. Tapi, dia menegaskan bahwa hal tersebut sama seperti olahraga pada umumnya.

“Mungkin saat ini mereka hanya sekedar hobi. Tapi sama seperti olahraga konvensional lain, seperti basket, sepak bola, dan lainnya, diawali dari hobi bisa menjadi atlet profesional,” tegasnya.

Belum lagi, dia melihat bahwa saat ini, anak-anak kemungkinan besar akan mendapatkan perangkat mobile, baik smartphone atau tablet sebagai perangkat permainan pertama mereka. Mengejutkan bukan?

Hal lain yang bisa dilakukan oleh tim eSport adalah dengan berjualan merchandise. Salah satu tim yang sudah melakukan hal tersebut adalah Evos. Mereka baru saja meluncurkan sebuah toko merchandise khusus tim mereka di daerah Jakarta Selatan.

Bagi tim eSport lain, hal tersebut mungkin bukan pilihan yang konkrit karena mereka harus menggelontorkan modal yang besar. Tapi, tak menutup kemungkinan ke depannya tim lain akan melakukan hal yang sama.

Selanjutnya : Berapa penghasilan atlet eSport? >>>

Sekarang kita tahu bahwa tim eSport bisa mendapatkan uang yang banyak dari banyak sumber. Lantas, bagaimana dengan para atlet? Apakah mereka mendapatkan gaji seperti para pekerja kantoran?

Saya pun sempat berbincang-bincang dengan manajer tim Onic, Chandra Wijaya. Meski tidak membuka nominal secara gamblang, dia mengindikasikan bahwa jumlah pundi-pundi rupiah yang diterima oleh para atlet mereka cukup besar.

“Mereka menerima gaji bulanan. Nominalnya saya tak bisa sebutkan. Tapi, beberapa anak-anak yang ada di Onic bisa membantu orang tua mereka, bisa menyekolahkan adik-adiknya,” ungkap Chandra.

Tapi, kisaran atlet eSport biasanya berhenti di kisaran 27-30 tahun. Saya pun penasaran bagaimana cara mereka akan menyambung hidup. Ternyata, Chandra pun mengatakan, mereka sudah mempersiapkan para atletnya untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan meski telah pensiun menjadi atlet eSport.

“Banyak ya yang kita lakukan. Kita membimbing mereka untuk memanajemen uang mereka, memastikan mereka dapat terus menghasilkan setelah pensiun,” katanya.

“Kami juga membantu atlet kami untuk berkembang di luar menjadi atlet. Kami mendorong mereka untuk mencari hal lain yang mereka suka. Kalau mereka memiliki ketertarikan di musik, kita dorong. Kalau mau jadi konten kreator, kita bantu,” katanya.

Tak hanya sampai di situ saja. Mereka juga menjamin pendidikan para atlet mereka. “Ada beberapa atlet kita yang dari luar Jakarta, seperti dari Kalimantan. Itu kita sekolahkan juga. Sebelum kita bawa ke sini (Jakarta), kami datangi dulu orang tua mereka. Kita sungkem, minta izin. Kita janjikan pendidikan semua terjamin.”

Selanjutnya : Bukannya bermain seharian tidak sehat? >>>

Satu pertanyaan terakhir yang banyak ditanyakan oleh masyarakat. Mereka menganggap, para atlet eSport kerjaannya hanya duduk dan main gim seharian. Dan hal tersebut tidak sehat.

Ternyata, anggapan tersebut sangat tidak akurat. Sama seperti atlet olahraga konvensional, para atlet eSport memiliki banyak jadwal untuk melakukan aktivitas fisik. Pasalnya mereka akan berlatih bermain gim selama enam jam sehari.

“Kami punya jadwal yang ketat. Dari pagi jam 9 mereka olahraga selama dua jam. Kita panggil trainer ke game House,” Kata Chandra.

. “Setiap orang memiliki target berbeda. Ada yang mengurangi berat badan, ada yang menjaga kebugaran, dan lainnya.”

Para atlet eSport ini juga memiliki jadwal tidur yang sangat ketat. Istirahat ini adalah salah satu hal paling penting untuk menjaga konsentrasi para atlet.

Tak sampai di situ saja, mereka juga sampai menjaga gizi para atletnya. Mereka bahkan memiliki tim nutrisionis sendiri untuk para atlet mereka. “Dari pagi sampai malam itu kita tanggung (makan). Kita pakai tim nutrisionis karena setiap anak kebutuhannya berbeda-beda.”

Mereka juga memberikan asuransi kesehatan bagi para atlet. Jadi jika mereka sampai sakit, mereka dapat berobat tanpa harus ada rasa khawatir.

So, dari fakta-fakta di atas, menurut saya industri eSport bukan sekedar membiarkan anak-anak bermain gim seharian. Para manajer tim eSport menempatkan para atlet eSport seperti atlet olahraga profesional lainnya.

Mereka juga mendapatkan gaji dari usaha mereka, selain tentunya mendapatkan uang hadiah senilai miliaran rupiah. Tak ketinggalan, para manajer tim eSport pun memperhatikan pendidikan serta kesehatan para atlet mereka. Bahkan, mempersiapkan masa depan para atlet mereka setelah pensiun pun menjadi salah satu hal yang sangat diperhitungkan.

So, masih menganggap industri eSport hanya sekedar industri main-main saja?

Share
×
tekid
back to top