72 Negara Anggota PBB Telah Tandatangani Perjanjian Global Antikejahatan Siber
konvensi global antikejahatan siber PBB yang ditandatangani 72 negara, termasuk Australia dan Spanyol, untuk memperkuat kerja sama digital.
Ilustrasi kejahatan siber. dok. Freepik.com
Konvensi Internasional Antikejahatan Siber Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Convention against Cybercrime, yang menjadi perjanjian global pertama dalam upaya memerangi kejahatan siber lintas negara, kini telah ditandatangani oleh 72 negara.
Konvensi ini, yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada Juli 2024, menetapkan kerangka hukum internasional untuk penyelidikan dan penuntutan berbagai bentuk kejahatan digital, seperti ransomware, penipuan daring, dan eksploitasi anak di internet.
PBB menilai, salah satu tantangan utama dalam penanganan kejahatan siber global adalah celah hukum dan koordinasi antarnegara. Sering kali pelaku beroperasi di satu negara, korban berada di negara lain, sementara bukti digital tersimpan di negara ketiga.
Konvensi ini berupaya menutup kesenjangan tersebut melalui standarisasi pelanggaran siber, prosedur pengumpulan bukti digital lintas negara, dan mekanisme pertukaran data internasional.
- Perkuat Keamanan Siber, Trend Micro Bangun Platform Vision One Berbasis AI di Indonesia
- Studi: Banyak Situs Masih Izinkan Password Lemah, Pengguna Ikut Terbiasa Ceroboh
- Peneliti Temukan Celah Keamanan Serius di ChatGPT, Berpotensi Dimanfaatkan Peretas
- Riset GASA : Kerugian Akibat Penipuan Digital di Indonesia Capai Rp49 Triliun
Selain itu, setiap negara penandatangan diwajibkan memasukkan pelanggaran inti ke dalam hukum nasionalnya serta menyepakati kerja sama dalam hal ekstradisi pelaku, pertukaran data, dan investigasi lintas batas.
PBB menegaskan penerapan aturan ini tetap harus memperhatikan prinsip hak asasi manusia, privasi, kebebasan berekspresi, dan asas hukum yang adil.
Kekhawatiran atas Privasi dan Hak Asasi
Namun, tidak semua pihak menyambut positif konvensi ini. Sejumlah organisasi internasional dan perusahaan teknologi besar menilai bahwa aturan tersebut berpotensi memperluas pengawasan elektronik secara berlebihan.
Organisasi seperti Electronic Frontier Foundation (EFF), Human Rights Watch, Privacy International, serta perusahaan teknologi Cisco, menilai konvensi ini belum memberikan perlindungan yang cukup terhadap privasi dan kebebasan sipil.
Mereka memperingatkan kewajiban berbagi data antarnegara bisa membuka celah penyalahgunaan untuk kepentingan politik atau pengawasan massal.
Meski menuai kritik, dukungan terhadap konvensi ini terus meluas. Selain Australia dan Spanyol, negara-negara seperti Tiongkok, Brasil, Mesir, Venezuela, Filipina, Thailand, Iran, Peru, Luksemburg, Afrika Selatan, dan Republik Ceko turut menyatakan dukungan.
Interpol dan Liga Negara Arab juga termasuk di antara pihak yang menyambut baik perjanjian tersebut.
Penandatanganan konvensi ini baru merupakan langkah pertama. Negara-negara peserta masih harus menyesuaikan undang-undang nasional mereka agar dapat menegakkan aturan dalam konvensi tersebut secara efektif.









